Nationalgeographic.co.id—Mengirim manusia ke Mars adalah impian terbesar umat manusia saat ini. Terutama bagi perusahaan-perusahaan penerbangan luar angkasa, seperti SpaceX misalnya. Mereka saling berlomba untuk menjadi yang pertama dapat mengirim manusia ke Mars.
Namun, masalah selalu saja ada. Pertanyaan yang masih belum bisa dijawab adalah, bagaimana caranya agar para astronaut yang sudah dikirim ke Mars ini, bisa kembali lagi ke Bumi. Tentunya ini bukanlah hal yang mudah. Banyak sekali faktor yang berpengaruh, di antaranya yang paling vital adalah bahan bakar.
Bagaimana caranya mereka mendapatkan banyak bahan bakar untuk pulang ke Bumi? Mungkin studi ini bisa memecahkan masalah itu.
Sebuah studi yang dilakukan oleh para insinyur di Universitas Cincinnati ini telah diterbitkan dalam jurnal Nature Communications pada 6 September 2021 berjudul Regulation of functional groups on graphene quantum dots directs selective CO2 to CH4 conversion.
Studi ini meyakinkan kepada para ilmuwan bahwa karbon dioksida ternyata dapat diubah menjadi bahan bakar. Selain cara ini bisa membantu mengatasi pemanasan global karena efek gas rumah kaca, juga dapat dimanfaatkan dalam membuat bahan bakar di Mars kelak.
Atmosfer Mars terutama terdiri atas karbon dioksida. Oleh karena itu, cara ini bisa saja diterapkan di Mars. Teknik ini dapat menghemat setengah bahan bakar yang dibutuhkan astronaut untuk perjalanan pulang.
Baca Juga: Studi Terbaru Ungkap Ukuran Planet Jadi Alasan Mars Tidak Layak Huni
Dilansir dari Tech Explorist, Jingjie Wu dari UC College of Engineering and Applied Science, mengatakan, “Ini seperti sebuah pompa bensin di Mars. Anda dapat dengan mudah memompa karbon dioksida melalui reaktor ini dan menghasilkan metana untuk roket.”
Ia juga manambahkan, “Saya menyadari bahwa gas rumah kaca akan menjadi masalah besar di masyarakat. Banyak negara menyadari bahwa karbon dioksida adalah masalah besar bagi pembangunan berkelanjutan masyarakat kita. Itu sebabnya saya pikir kita perlu mencapai netralitas karbon.”
Dalam studi ini, tim peneliti menggunakan reaktor untuk mengubah karbon dioksida menjadi metana. Sama halnya dengan Stasiun Luar Angkasa Internasional yang menggunakan proses reaksi Sabatier untuk menyerap karbon dioksida dari udara astronaut dan menghasilkan bahan bakar roket untuk menjaga stasiun di orbit tinggi. Selain itu, tim peneliti juga mencari berbagai katalis lainnya yang dapat digunakan untuk meningkatkan hasil metana.
Wu berkata, “Prosesnya menjanjikan untuk membantu mengurangi perubahan iklim. Selain itu juga memiliki keuntungan komersial yang besar dalam memproduksi bahan bakar sebagai produk sampingan. Prosesnya 100 kali lebih produktif daripada sepuluh tahun lalu. Jadi Anda bisa membayangkan bahwa kemajuan akan datang lebih cepat dan lebih cepat lagi. Mungkin dalam sepuluh tahun ke depan, kita akan memiliki banyak perusahaan rintisan untuk mengkomersialkan teknik ini."
Seiring dengan metana, tim juga menggunakan katalis yang berbeda agar memperoleh hasil etilen. Etilen adalah bahan kimia terpenting di dunia.
“Prosesnya terukur untuk digunakan di pembangkit listrik yang dapat menghasilkan berton-ton karbon dioksida. Dan ini efisien karena konversi dapat terjadi tepat di mana kelebihan karbon dioksida dihasilkan. Kemajuan dalam produksi bahan bakar dari karbon dioksida membuatnya lebih yakin bahwa manusia akan menginjakkan kaki di Mars dalam hidupnya,” tutur Wu.
Baca Juga: NASA Melakukan Pencarian Tanda-tanda Kehidupan Purba di Planet Mars
“Saat ini, jika Anda ingin kembali dari Mars, Anda perlu membawa bahan bakar dua kali lebih banyak, yang sangat berat. Dan, pada masa depan, Anda akan membutuhkan bahan bakar lain. Jadi kita bisa menghasilkan metanol dari karbon dioksida dan menggunakannya untuk memproduksi bahan hilir lainnya. Jadi, mungkin suatu hari kita bisa hidup di Mars,” pungkas Wu.
Eksperimen studi ini telah membuka jendela baru pada misi manusia ke Mars pada masa yang akan datang. Akankah manusia benar-benar dapat menghuni Mars?
Source | : | techexplorist.com |
Penulis | : | Wawan Setiawan |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR