Mentari pagi terbit dari pundak Gunung Cikuray. Sinar keemasannya membelai Risman, seorang bocah pencabut genjer, yang tengah melangkah di pematang sawah. Kehangatannya cukup untuk menyelimuti Risman dari udara perbukitan Garut yang terkenal dingin dan berangin.
Selama perjalanan, para petani yang sedang membersihkan sawah dari tanaman liar menyapa Risman. Anak laki-laki berumur 13 tahun ini memang dikenal sebagai pekerja keras dan sering membantu tetangganya.
Setelah sekitar 20 menit berjalan, sampailah Risman di sebuah petak yang ditumbuhi tanaman genjer. Risman melepas sandalnya, kemudian turun ke petak berlumpur itu. Risman mulai mencabuti genjer di antara rumput dan tanaman liar yang ikut tumbuh di petak bekas sawah tersebut.
Sehari sebelumnya, telapak kaki Risman tertusuk pecahan kaca sampai berdarah saat mencabuti genjer. Luka yang baru tertutup sehari itu terasa ngilu. Namun rasa sakit itu tidak dihiraukannya.
Hari semakin siang, sinar matahari mulai terik menyengat. Kali ini Risman hanya bisa mengumpulkan dua ikat besar genjer. Risman pun meninggalkan persawahan, dan kembali ke perkampungan sambil memikul genjernya.
Risman harus berkeliling kampung untuk menjual genjer segarnya, menjajakan kepada para tetangganya. Sebagian lagi dijual kepada warga yang hendak berjualan di Pasar Samarang. Dari hasil jual genjernya itu, Risman hanya mendapat Rp 6.000.
Matahari sudah berada tepat di atas kepala. Berbekal karung dan tongkat bambu dari halaman rumahnya, Risman mulai memungut sampah-sampah plastik yang hanyut di sungai-sungai di kampungnya. Setelah dua jam berlalu, karung yang ditentengnya penuh berisi botol dan gelas plastik bekas.
Risman kemudian menjual rongsokan hasil pungutnya itu dan mendapat bayaran Rp 10 ribu, sebelum pulang ke rumahnya di Kampung Pasirlingga, Desa Mekargalih, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut.
Risman melepas sandal dan masuk ke rumah panggungnya. Lantai papan rumah itu berderit saat diinjak dan didudukinya. Cahaya matahari sore menembus sela-sela dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu usang. Sebagian langit-langit rumahnya menggantung, seperti akan ambruk.
Di sana, Risman disambut oleh kelima adiknya yang tengah makan. Risman pun kemudian ikut makan. Hanya ada nasi bertabur garam di atas piring mereka, tanpa lauk pauk atau sambal. Mereka menganggapnya sudah cukup untuk menambah tenaga sebelum pergi mengaji. Ibu Risman, Apong (42), dan ayah Risman, Adis (48), juga ikut makan.
Hanya Rp 16.000 yang didapat Risman hari itu dari hasil memungut genjer dan wadah plastik bekas. Rp 10.000 akan dibelikan 1 kilogram beras untuk makan esok hari, sedangkan enam ribu rupiah sisanya dibagi-bagi untuk kebutuhan sekolah dan jajan adik-adiknya serta kebutuhan rumah tangga.
Hanya itulah uang yang didapat oleh keluarga tersebut. Adis mengalami lumpuh sejak 11 tahun lalu akibat terlalu keras bekerja sebagai pemikul beras. Sedangkan Apong sibuk merawat Adis dan kelima anaknya yang masih kecil.
Keempat kakak Risman telah berkeluarga, dan tinggal di Bandung serta Wanaraja. Risman terpaksa harus putus sekolah setelah lulus kelas V SD, setahun lalu, untuk menjadi tulang punggung keluarga, terutama kelima adiknya.
"Aku ingin sekolah lagi, tapi kasihan ibu. Tidak ada yang bantu ibu kalau aku sekolah. Kalau ada yang suruh ibu urus sawah, suka ada yang bayar Rp 15 ribu sehari. Tapi sekarang jarang. Kalau ada juga pasti tidak cukup untuk makan seharihari," kata Risman, Selasa (27/5).
Risman mengatakan, tidak mau meminta-minta dan memilih memungut genjer dan wadah plastik bekas untuk mendapat uang. Saat ini hanya kesehatan yang diharapkan Risman. Dengan begitu, dia akan terus bisa mencari nafkah untuk keluarganya.
Hari menjelang sore, matahari condong ke arah barat. Udara kembali menjadi dingin. Risman duduk di lantai sambil bersandar pada pintu rumahnya. Menunggu adik-adiknya pulang mengaji sambil beristirahat, Risman mempersiapkan tenaga untuk kembali mencari genjer esok harinya.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR