Begitu memasuki taksi dalam kota, nama Jokowi langsung muncul ketika berkomentar bahwa taksi Blue Bird tidak terlihat di jalanan kota Solo.
Penyebabnya adalah Pak Jokowi, seperti dituturkan Agus, sopir taksi Gelora.
"Dulu pertama Pak Jokowi datang ke pangkalan-pangkalan dan habis itu tanya gimana kalau Blue Bird mau masuk dan kami bilang nggak bisa karena sekarang saja cari setoran susah.
"Dan Pak Jokowi konfirmasi tempat lain, sama saja," jelas Agus yang kini tidak usah bersaing dengan konglomerat nasional angkutan tersebut.
Dua kali terpilih sebagai walikota Solo jelas bisa menjadi bukti nyata dia mendapat dukungan warga Solo bahkan dengan persentase kemenangan sebesar 90,09% dalam pemilihan kedua 2010, naik pesat dari 36,6% saat pemilihan pertama tahun 2005.
Namun Jokowi tidak memenuhi periode kedua karena tahun 2012 terpilih sebagai Gubernur Jakarta, yang mungkin juga tidak bisa dituntaskannya.
"Saya kira hampir semua orang Solo tentunya bangga dengan Pak Jokowi walau menyayangkannya juga karena kalau beliau masih beberapa tahun lagi di Solo maka akan membawa lebih banyak perubahan," tutur Sumartono Hadinoto juru bicara Perkumpulan Masyarakat Surakarta, sebuah organisasi sosial yang sudah berdiri sejak tahun 1930-an.
Dan wali kota Jokowi juga memberi keuntungan kepada pengusaha walau sering disebut memiliki keberpihakannya kepada rakyat kecil.
"Contoh nyata mengenai perizinan. Dulu itu mencari izin usaha, izin mendirikan bangunan itu biaya banyak sekali dan tanpa kuitansi. Setelah Pak Jokowi semuanya menjadi transparan," kenang Subiyakto, pengusaha dob dan shuttlecock.
Kasunanan netral
Bagi Kasunanan Surakarta, salah satu kerajaan yang berada di Solo, bukan hanya Jokowi saja yang bisa disebut sebagai putra Solo karena Prabowo Subianto juga memiliki darah kraton Solo.
Bagaimanapun, menurut Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Dipokusumo, bukan alasan itu saja yang membuat Kasunanan Surakarta untuk bersikap netral.
"Kraton secara filosofis dalam pengertian Jawa itu bisa ngayomi dan ngayemi atau memelihara dan menjaga kebaikan masyarakat," jelas salah seorang putra mendiang Raja Pakubuwono XII yang sering disapa Gusti Dipo itu.
Oleh karena itu pilihan politik diserahkan kepada oleh kerabat kraton untuk mengarahkan aspirasi dan Kasunanan Surakarta akan mendukung pemimpin yang terpilih.
Namun sekaligus ada harapan Gusti Dipo terhadap presiden mendatang, yang disebutnya dengan mengutip julukan 'jasmerah' yang di Solo dipanjangkan menjadi 'remaja Solo harus melek sejarah' dari jargon Bung Karno 'jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah'.
"Kita jangan sampai melupakan para pendiri bangsa, tidak hanya NKRI. Dulu sebelum ada negara kesatuan kan ada raja-raja. Semua kearifan lokal di seluruh Indonesia harus segera diperhatikan."
Perdebatan rutin
Pembicaraan soal pilpres dalam beberapa waktu belakangan selalu mewarnai pertemuan Pawon, kumpulan para penulis dan pekerja seni budaya Solo.
Walau Senin (7/7) malam itu pendukung Prabowo tidak hadir karena ke luar kota, pembicaraan tetap ramai karena salah seorang masih memutuskan untuk golput. "Aku mengkritik kedua tokoh, dan untuk politik nasional aku tidak begitu yakin saat ini Jokowi bisa," jelas Mohamad Fauzi, yang sering menulis kolom di Koran Tempo dan Solo Pos.
Keputusan yang dikecam oleh penulis novel dan pemenang lomba cerita bersambung majalah Femina, Indah Darmastuti, dengan alasan setiap suara warga itu penting dan dalam pemilihan presiden ada sikap yang diambil.
"Suara kita itu penting dan sekarang mari kita lihat jangan calon presiden tapi indikasi tentang siapa-siapa yang kira menjadi menteri dalam kabinet mereka."
Sedangkan Fanny Chotimah, seorang pekerja film, berpendapat sikap golput memperkecil peluang kemungkinan kemenangan Jokowi.
"Mau tidak mau Anda akan punya presiden dan kalau kami sudah tahu musuh bersamanya dan karena tidak memberikan suara maka Anda memberikan peluang baginya untuk menang."
Yudhi—penulis biografi Hoegeng—berpendapat kerusuhan 1998 seharusnya menjadi titik tolak dalam memilih kali ini.
"Itu yang membuat setiap ada kasus-kasus kekerasan yang belum terbuktikan selalu sebaiknya menjadi keprihatinan kita."
Tugas pascapemilihan
Obrolan yang ramai di salah satu cafe di pusat kota Solo itu bubar setelah sekitar satu setengah jam kemudian dengan Sanie B. Kuncoro—seorang penulis novel dan cerpen—seperti menyimpulkannnya.
"Presiden yang baru harus menenangkan hati penentang-penentangnya selama ini karena pertarungan yang keras sekali," katanya.
Dan tugas itu sebenarnya bukan hanya di tingkat presiden, juga sebaliknya dari masyarakat yang selama ini sudah 'terpisah'.
Iwan Sentosa Djasmara—pengusaha ban dan kantung plastik—mengaku mengalami langsung polarisasi masyarakat dalam pemilihan kali ini dan dia sering mendapat SMS-SMS yang meresahkan.
"Terpisahnya dua kubu ini saya kira mencolok sekali dan nanti dibutuhkan kebesaran hati untuk mendukung yang terpilih walau bukan dukungan mereka."
Pengusaha distribusi F&B, Tanu Tulus Kismanto, yakin polarisasi yang terjadi tidak sampai menimbulkan kekhawatiran akan pengalaman masa lalu di Solo, yang beberapa kali dilanda kerusuhan rasial, antara lain tahun 1980 dan 1998. "Saya kira sudah melewati masalah rasial namun traumanya belum hilang. Dan sekaligus ini merupakan saatnya untuk berubah."
Arahan elite?
Bagaimanapun Susanto -pengamat sejarah Surakarta dari Departemen Sejarah Universitas Sebelas Maret- berpendapat bahwa polarisasi di kalangan masyarakat tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan.
"Hampir semua konflik di sini dibawa oleh elit. Seperti dalam survei-survei itu kan sebenarnya pemilih gampang diarahkan tapi yang mengarahkan itu yang memiliki peran penting."
Memang, menurut Susanto, terjadi pembicaraan yang agak tegang setiap membicarakan pemilihan presiden namun selalu mencair begitu memasuki aktivitas kehidupan sehari-hari. "Ini nanti akan menjadi aman, di keluarga dan di tetangga. TV sudah tidak menyiarkannya lagi maka akan menjadi nyaman kembali. Saya yakin ini akan mudah dilupakan."
Pertanyaannya mungkin, karena hanya ada satu presiden yang terpilih apakah para elit dari calon lain kemudian tidak akan berupaya lagi mengarahkan warga
Jawaban yang masih menunggu perjalanan waktu.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR