Banyak alasan mengapa Squid Game begitu digandrungi banyak orang. Beberapa di antaranya adalah cerita serial ini memang menarik: ada tokoh-tokoh yang dengan karakter yang kuat, ada konflik dan permasalahan atau tantangan yang jelas keras, serta ada tujuan yang hendak dicapai. Selain itu, ada juga beberapa plot twist dalam serial ini.
Lebih dari itu, para aktor dan aktris dalam serial ini juga berakting dengan baik. Dan juga, visual dalam serial ini sangat menarik. Latar tempat permainan dan kostum yang dipakai para pemain dan penyelenggara permainan dalam serial ini sungguh mencolok mata.
Namun dari sisi psikologis, kehebohan serial film ini tetaplah menimbulkan pertanyaan khusus: Mengapa banyak orang begitu terobsesi dengan pertunjukan yang kejam tentang penderitaan orang lain?
Baca Juga: Melihat Harimau Berkantung Terakhir Sebelum Dinyatakan Punah
Yang terlihat di permukaan, Squid Game sebenarnya bercerita tentang ketertarikan yang sudah lama ada dengan gagasan untuk bertahan hidup dalam permainan. Film-film distopia seperti The Hunger Games dan Maze Runner memiliki kesamaan dengan Squid Game karena mengadu domba para perseta di arena pertempuran. Film-film horor seperti Ready or Not, Saw, dan Battle Royale juga memiliki kemiripan dengan Squid Game karena punya sudut pandang kamera mengikuti tokoh protagonis utama yang harus bertahan dari tantangan teror.
Dalam serial Squid Game, kita akan menonton tayangan yang mengikuti kehidupan tokoh utama Seong Gi-hun dan 455 peserta dewasa lain yang dililit utang yang dibawa pergi ke sebuah pulau untuk memainkan enam putaran permainan anak-anak. Jika mereka bertahan, mereka memenangkan 45,6 miliar won atau sekitar Rp541,6 miliar. Jika mereka kalah, mereka mati dengan cara yang mengerikan dan tidak manusiawi.
Serial Squid Game ini secara tersirat memperlihatkan setidaknya ada dua kelompok manusia dalam hidup ini. Yang pertama adalah sekelompok miliarder yang mencari kesenangan voyeuristik mereka sendiri. Sementara kelompok lainnya adalah orang-orang yang berpenghasilan rendah atau miskin yang kondisi keuangannya tidak stabil dan kehidupannya selalu menderita. Masalah ketidaksetaraan ekonomi semakin meningkat karena diperburuk oleh kondisi pandemi global selama 1,5 tahun tekakhir.
Source | : | Bustle |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR