Peneliti menjelaskan, teorinya semakin banyak air yang larut dalam magma, semakin besar risiko gunung berapi akan meledak. Studi baru sekarang menunjukkan bahwa aturan sederhana ini hanya sebagian benar. Paradoksnya, kadar air yang tinggi secara signifikan mengurangi risiko ledakan.
Menurut peneliti, gunung berapi di pulau-pulau seperti La Palma atau Hawaii diketahui tidak mungkin menghasilkan ledakan besar. Tapi pertanyaan ini jauh lebih sulit dijawab untuk gunung berapi besar yang terletak di sepanjang zona subduksi, seperti yang ditemukan di Andes, di Pantai Barat AS, di Jepang, Indonesia atau Italia dan Yunani.
Hal itu karena semua gunung berapi tersebut dapat meletus dengan berbagai cara, tanpa ada cara untuk memprediksi mana yang akan terjadi. Jadi untuk lebih memahami bagaimana gunung berapi meletus, dalam beberapa tahun terakhir banyak peneliti berfokus pada apa yang terjadi di saluran vulkanik.
Baca Juga: Studi Terbaru Ungkap Kenapa Gunung Api di Indonesia Sangat Berbahaya
Telah diketahui selama beberapa waktu bahwa gas terlarut dalam magma, yang kemudian muncul sebagai lava di permukaan bumi, merupakan faktor penting. Jika ada sejumlah besar gas terlarut dalam magma, gelembung gas terbentuk sebagai respons terhadap penurunan tekanan saat magma naik melalui saluran.
Kondisi tersebut mirip dengan apa yang terjadi dalam botol sampanye yang dikocok. Gelembung-gelembung gas ini, jika tidak dapat keluar, akan menyebabkan letusan eksplosif. Sebaliknya, magma yang mengandung sedikit gas terlarut mengalir perlahan keluar dari saluran dan karena itu jauh lebih tidak berbahaya bagi daerah sekitarnya.
Pada studi ini, para ilmuwan menganalisis data dari 245 letusan gunung berapi, merekonstruksi seberapa panas ruang magma sebelum letusan, berapa banyak kristal padat yang ada di lelehan dan seberapa tinggi kandungan air terlarutnya. Faktor terakhir ini sangat penting, karena air yang larut kemudian membentuk gelembung gas yang terkenal selama naiknya magma, mengubah gunung berapi menjadi botol sampanye yang terlalu cepat dibuka.
Source | : | Nature,ETH Zurich News |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR