Namun mengapa kisahnya menjadi muncul kembali setelah hampir seabad terlupakan? Kisah Gibson pertama kali menarik perhatian internasional pada tahun 2014, ketika jurnalis Siobhán Lynam memproduksi sebuah dokumenter radio tentang kehidupan Gibson. Program dokumenter ini membahas soal The Woman Who Shot Mussolini, sebuah buku 2010 yang ditulis oleh sejarawan Inggris Frances Stonor Saunders.
Lahir pada tahun 1876, Gibson berasal dari keluarga kaya. Sang Ayah, Lord Ashbourne, merupakan tokoh peradilan senior di Irlandia. Ia tumbuh dengan beragam penyakit fisik dan mental—yang kemudian disebut "histeria".
Di pertengahan usia 20-an, Gibson memeluk agama Katolik; kemudian pindah ke Paris untuk bekerja di organisasi pasifis. Keyakinan politik dan agama Gibson yang penuh gairah inilah yang kemudian mendorongnya untuk mencoba membunuh diktator Italia.
Pada hari penembakan, Mussolini baru menyelesaikan pidato di konferensi ahli bedah di Roma. Ia sedang berjalan melalui Piazza del Campidoglio. Di saat yang bersamaan, Gibson—seorang wanita kecil yang “berpenampilan acak-acakan”—mengacungkan pistol dan menembaknya dari jarak dekat.
Baca Juga: Sedap! Santapan Favorit Diktator Dunia, Ada yang Aneh dan Sederhana
Dua peristiwa kebetulan menggagalkan rencana Gibson. Pertama, Mussolini secara kebetulan menoleh untuk melihat sekelompok siswa di dekatnya yang menyanyikan sebuah lagu untuk menghormatinya. Hal ini menyebabkan peluru mengenai pangkal hidungnya alih-alih wajahnya. Kedua, meskipun Gibson menembakkan peluru lain, peluru itu bersarang di pistolnya. Pada saat itu, dia sudah diseret ke tanah oleh massa.
Polisi mengawalnya pergi sebelum ia dikeroyok dengan brutal oleh orang-orang yang ada di sekitar sana. Beberapa jam setelah percobaan pembunuhan itu, Mussolini muncul kembali di depan umum, dengan perban di hidungnya.
Terlepas dari dari kegagalan Gibson, percobaan pembunuhan ini tak ayal membuat Mussolini malu karena dilukai oleh seorang wanita.
“Dia sangat misoginis, seperti halnya seluruh rezim fasis,” tutur Saunders. “Dia terkejut karena ditembak oleh wanita asing. Hal ini mencederai egonya yang besar.”
Gibson dideportasi ke Inggris, di mana dokter menyatakan dia gila. Keluarganya setuju untuk menempatkannya di rumah sakit jiwa di Northampton. Saat dipenjara, Gibson menulis surat memohon pembebasannya. Ditujukan kepada orang-orang penting seperti Winston Churchill dan Putri (sekarang Ratu) Elizabeth, surat-surat itu tidak pernah benar-benar dikirim.
Gibson dikurung sampai kematiannya pada usia 79 tahun 1956. Meski tidak ada satupun anggota keluarganya yang menghadiri pemakamannya, kerabat yang tersisa saat ini mendukung rencana penghormatan untuknya.
“Sekarang saatnya untuk membawa Violet Gibson ke mata publik dan memberinya tempat yang layak dalam sejarah wanita dan bangsa Irlandia,” kata anggota dewan Dublin Mannix Flynn. Seperti yang dijelaskan Stonor Saunders, kebencian terhadap wanita dan stigma seputar penyakit mental membungkam cerita Gibson selama beberapa dekade. Orang-orang di zamannya melabelinya sebagai orang gila alih-alih mengakui keraguan intelektualnya tentang kediktatoran Mussolini.
Saat mengurung Gibson, mereka mengesampingkan kemungkinan bahwa seseorang dapat memiliki penyakit mental dan ide politik yang brilian secara bersamaan. Inilah yang dimiliki oleh Violet Gibson dan membawanya kepada percobaan pembunuhan Mussolini.
Source | : | Smithsonian Magazine |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR