Nationalgeographic.co.id—"Di balik suasana tenang di pulau yang multikultural, Pulau Natal saat ini, terdapat sejarah yang menarik dan terkadang bergejolak," tulis Christmas Island di laman resminya.
Christmas Island Tourism Association dalam laman resminya, menulis artikel berjudul The History of Christmas Island. Artikelnya menjelaskan tentang sejarah munculnya Pulau Natal (Christmas Island) di Australia.
Christmas Island atau Pulau Natal, merupakan pulau kecil berbatu di Samudra Hindia yang berjarak 2.600 kilometer (1.616 mil) di barat laut Perth, Australia.
Adanya penemuan fosfat pada tahun 1888, memandu nasib pulau Natal ke abad-abad berikutnya. Namun, selain penemuan fosfat, Pulau Natal juga merupakan tempat yang cukup bersejarah.
Baca Juga: Temuan di Pulau Christmas Tegaskan Lebih Lanjut Garis Wallace
Lantas, mengapa dinamakan sebagai Pulau Natal atau secara internasional dikenal dengan nama Christmas Island?
Kisah itu dimulai saat Kapten William Mynors singgah dan menemukan sebuah pulau, kemudian menamai pulau itu dengan nama Natal. Alasannya, karena ia menemukannya pada 25 Desember 1643, tepat saat perayaan Natal.
William Mynors adalah seorang kapten laut berkebangsaan Inggris. Ia merupakan master kapal milik East India Company (EIC), bernama Royal Mary. Kapal Royal Mary beroperasi untuk EIC sepanjang tahun 1626 hingga 1639.
Setelah penemuan pada perayaan Natal 1643, pulau itu dimasukkan dalam peta navigasi Inggris dan Belanda sejak awal abad ke-17, tetapi baru pada tahun 1666 peta yang diterbitkan oleh kartografer Belanda Pieter Goos memasukkan pulau itu.
Selang beberapa abad selanjutnya, pada 6 Juni 1888, Inggris Raya menganeksasi Pulau Natal atas desakan John Murray. Sebabnya, kemunculan fosfat membuat Inggris tergiur akan klaim atas Pulau Natal.
Setelah didirikannya pemukiman bernama Flying Fish Cove beserta perusahaan fosfat, 200 buruh Cina, delapan manajer Eropa dan lima polisi Sikh, tiba di pulau itu untuk menjadi tenaga kerja, ditambah dengan sejumlah kecil orang Melayu.
Nahas, selama Perang Dunia I yang terjadi sepanjang tahun 1914 hingga 1918, penambangan fosfat berkurang. Namun, di sisi lain, jalur kereta api dari Settlement ke South Point, mulai dibangun.
Baca Juga: Majapahit Tak Hanya Berkuasa di Daratan, Namun Juga Merajai Lautan
Pada perayaan Natal selanjutnya, di tahun 1942, Jepang menyerang kapal fosfat dari Norwegia, bernama The Eidsvold di Flying Fish Cove. Hal tersebut membuat 50 keluarga Asia dan Australia dievakuasi ke Perth, kisah perayaan Natal yang cukup kelam.
Tak berhenti di situ, 900 tentara Jepang menyerbu dan menduduki Pulau Natal, memenjarakan orang Eropa yang tersisa dan memburu 1.000 pekerja Melayu dan Cina di hutan-hutan pulau itu.
"Sabotase penduduk pulau dan kapal selam sekutu menyebabkan penangguhan penambangan fosfat yang ada di Pulau Natal," ungkap Christmas Island Tourism Association dalam laman resminya.
"Tanda-tanda yang bisa kita saksikan hari ini (di pulau itu) adalah sejarah Perang Dunia II, di mana pulau itu termasuk perkomplekan senjata yang dipulihkan," tambahnya.
"Di sana juga dapat dilihat tentang invasi dan pendudukan Jepang, ketika penduduk pulau dan kapal selam sekutu berhasil menyabotase usaha ranjau dan ratusan penduduk pulau kemudian dikirim ke kamp tawanan perang Jepang di Indonesia," sambungnya.
Pada 1945, hari-hari buruk di Pulau Natal berakhir. Kekalahan Jepang di Perang Dunia II, memukul mundur Jepang dari sana, meninggalkan Natal yang kemudian menjadi pulau bebas.
Barulah pada tahun 1949, Australia dan Selandia Baru membeli perusahaan bernama Christmas Island Phosphate dan Pulau Natal mulai dikelola oleh Koloni Singapura.
Baca Juga: Film 'Onoda', Kisah Nyata Gerilya Tentara Jepang Meski Perang Usai
Inggris mengambil alih pulau itu dari Jepang atas nama Ratu Victoria, tetapi pada tahun 1946, pulau itu ditempatkan di bawah yurisdiksi Koloni Mahkota Singapura.
Pada tahun 1958, Inggris (Kerajaan Britania Raya) mengalihkan kedaulatan ke Australia, sehingga pulau itu, sampai saat ini menjadi bagian dari Wilayah Australia.
Source | : | Christmas Island Tourism Association |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR