Kereta sebentar lagi memasuki Stasiun Tawang, Semarang. Nyaris tak terlihat pemandangan apapun di luar jendela. Lampu-lampu berlarian meninggalkan kereta Argo Sindoro dari Jakarta.
Tengah malam, irama lagu itu sangat menentramkan hati dan tubuh yang berbalut penat. Lagu Gambang Semarang itu diciptakan oleh Eoi Yok Siang yang liriknya ditulis oleh Sidik Purnomo. Gambang Semarang sebenarnya adalah turunan dari gambang kromong di Jakarta.
Irama gambang Semarang rancak, mengentak dan terkesan humoristik. Ia adalah versi sederhana dari gambang kromong.
Gambang kromong adalah ekspresi rindu-dendam Cina Peranakan pada kesenian leluhurnya. Ia adalah musik hibrida akulturasi dari musik Cina, Betawi, Melayu, dan Deli. Namun sekarang gambang kromong sedikit berpentas. Begitu pula dengan riwayat gambang Semarang.
Kota Semarang adalah suatu kota bandar kosmpolit. Berbagai suku-bangsa tingga, bertegur-sapa, dan mencari penghidupan bersama-sama.
"Semarang, kota bandar kolonial par excellence pada 3 dasawarsa terakhir abad 19," jelas Theo Stevens, sejarawan. Menurut catatan sejarah para peziarah Cina, pada abad 14 telah tumbuh kota-kota pelabuhan di sepanjang peisir utara Jawa.
Kota Semarang adalah suatu kota bandar kosmpolit. Berbagai suku-bangsa tingga, bertegur-sapa, dan mencari penghidupan bersama-sama.
Kitab Negarakertagama pun menuliskan kenyataan serupa: pada zaman semasa telah tumbuh pusat-pusat perdagangan dengan komunikasi sampai mancanegara. Informasi paling awal dari Eropa, menyebutkan beberapa nama tempat yang masih akrab di telinga kita hingga sekarang, seperti Banten, Sunda Kelapa, Jepara, Tuban, dan Gresik.
Dalam Suma Oriental, Pires menerangkan bahwa tempat-tempat itu adalah pusat-pusat perdagangan luar negeri. Ia terkesan dengan kualitas pelabuah dan geliat aktivitas perekonomiannya.
Saat itu, Jepara adalah pelabuhan utama VOC di Jawa bagian tengah. Supermasi perdagangannya ialah ekspor produk pertanian, terutama beras. Jangkauan komersialnnya meliputi Asia dan sebagian Eropa. Pemerintah kolonial Belanda memindahkan kegiatan VOC ke Semarang. Sejak 1743, kota ini menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda di Jawa bagian tengah.
Sekitar tahun 1725, Francois Valentinjn mencatat bahwa Semarang adalah salah satu pelabuhan terbesar di Jawa dengan rumah-rumah yang baik dan didiami oleh para saudagar kaya.
"Di antara kota-kota di Jawa, Semarang tak diragukan lagi yang terbaik," ujar Franz Wilheim menerangkan kondisi Semarang pada awal 1840-an. Jalan Bojong (sekarang Jalan Pemuda), sepotong ruas Jalan Raya Pos, dideskripsikan sebagai sebuah jalan raya yang lebar dan lempang dengan pohon kenari dan asam di kedua sisinya, seperti di alam pedesaan Eropa.
Dalam Suma Oriental, Pires menerangkan bahwa tempat-tempat itu adalah pusat-pusat perdagangan luar negeri. Ia terkesan dengan kualitas pelabuah dan geliat aktivitas perekonomiannya.
Namun untuk seorang sastrawan Pramoedya Ananta Toer, Semarang meninggalkan kenangan tidak penting. Dia menuturkan pengalaman selintasnya dalam buku Jalan Raya Pos Jalan Daendels.
Depan Stasiun Tawang terdapat sebuah kolam raksasa yang dulunya adalah lapangan bola. Beberapa tahun silam, ia disulap menjadi polder untuk menampung air yang menggenangi kawasan Kota Lama setiap musim hujan tiba.
Kini kolam itu bermanfaat setelah ditebari ribuan bibit ikan. Komari, 44, seorang peternak ikan hias mencari kutu air mencari kutu air yang digunakan menjadi pakanan utama ikan cupang. Sebenarnya di kolam ini ada banyak ikan, seperti nila, lele, atau mujair.
Namun mereka tak tahan hidup lama. "Konsentrasi air di sini sering tidak tetap dan air comberan yang penuh polusi itu yang menyebabkan banyak ikan mati," ujar Komari.
Di Semarang, terdapat Jalan Cendrawasih, dimana pernah ada gedung opera nan megah bernama Marabunta. Para tuan-nyonya berdansa atau menikmati konser dengan mengenakan busana indah: tuksedo dan rok berumbai-rumbai, Tak lupa topi bertengger di kepala demi bergaya-gaya.
Ujung Jalan Cendrawasih adalah jalan Letjend. Suprapto yang merupakan salah satu ruas Jalan Raya Pos yang membentang dari Anyer hingga Panarukan sepanjang 1,000 km. Proyek raksasa itu dimulai oleh Herman Willem Daendels pada 1809. Panjangnya setara dengan jalan Amsterdam-Perancis.
Pram menyebut proyek ini sebagai sebuah bentuk genosida, yang mengutip dari sumber-sumber Inggris, menewaskan lebih dari 12,000 nyawa. Namun tak tampak bekas genosida itu. Yang ada kini adalah artefak-artefak bangunan kolonial beragam mazhab.
Menapaki Jalan Letjend. Suprapto ke arah barat, kira-kira seratus meter dari ujung jalan Cendrawasih, di kanan jalan ada sepetak tanah kosong. Itu merupakan lokasi Hotel Jansen. "Menurut cerita, mata-mata Perang Dunia I berjuluk Mata Hari pernah singgah dan bermalam di sana," kata Jongkie Tio, penulis buku Semarang City, a Glance into the Past.
Pram menyebut proyek ini sebagai sebuah bentuk genosida, yang mengutip dari sumber-sumber Inggris, menewaskan lebih dari 12,000 nyawa.
Terdapat toko serba ada Ziekel, yang pertama di era kolonial. Jendela-jendelanya besar dan lebar. Di sebelah kanannya berdiri megah Gereja Blenduk. Area sekitar itu adalah landmark Kota Lama.
Gereja Blenduk awalnya adalah gereja kecil yang dibangun pertama kali di Semarang oleh Revenrend J. Lipsus tahun 1750. Lima puluh empat tahun kemudian, 1794, gereja tersebut direnovasu oleh Ir. W. Westmaas dan Ir. H.P.A. de Wilde.
Gereja ini resminya bernama Gereja Immanuel, gereja umat Protestan di Indonesia Bagian Barat. Biasanya setelah kebaktian Minggu pagi beberapa anak akan bermain di Taman Srigunting.
Depan gereja tersebut terdapat sebuah bangungan indah bergaya kolonial yang dirancang oleh arsitek terkenal Thomas Karsten tahun 1916. Gedung ini dan hampir semua bangunan di Kota lama adalah objek fotografi yang indah.
Tak jauh dari sana, terdapat toko perhiasan dan jam ternama pada masa kolonial, yakni Juwelier & Horloger Ohlenroth. Maju sedikit adalah gedung kantor telegram milik PT Telkom Area IV Jateng dan DIY.
Di seberangnya terdapat toko buku, penerbit dan percetakan G.C.T. van Dorp. Van Dorp sendiri menerbitkan Soerat Kabar Bahasa Melajoe rendah Selompret Melaijoe pertama kalinya pada 3 Februari 1860.
Konon buku Door Duisternis Tot Licht karangan RA Kartini diterbitkan pertamakalinya di sini tahun 1911.
Menyusuri jalanan Kota Lama, mengamati gedung-gedungnya, serasa berada di masa kejayaan pemerintah kolonial Belanda. Entah kenapa sekarang kawasan ini tak lagi bersinar. Tak tahulah bagaimana caranya agar Kota Lama menemukan gairahnya kembali.
Penulis | : | |
Editor | : | test |
KOMENTAR