Jarang sekali ada orang yang menyukai ubur-ubur. Wajar saja, di pantai mereka tampak lemas, tak berbentuk, dan melepuh di bawah sinar mentari. Sementara di dalam air, mereka kerap menyengat kulit kita. Gerakan mereka tidak seanggun kura-kura, atau paus bungkuk.
Meski demikian, ubur-ubur termasuk binatang paling tidak biasa di Bumi, dan pantas mendapat kesempatan kedua untuk memulihkan nama baik mereka.
Ubur-ubur termasuk makhluk hidup dengan jumlah paling banyak di laut. Penelitian terbaru menunjukkan, ada sekitar 38 juta ton ubur-ubur di kawasan epipelagik saja (kedalaman 0-200 meter). Selain itu, mereka terdapat di semua lautan dan menempati sebagian besar habitat laut termasuk laut dalam.
Rahasia mengapa ubur-ubur terdapat di mana-mana adalah tubuhnya. Tubuh yang terbuat dari agar-agar adalah strategi yang berhasil. Tubuh bergelatin itu telah mengalami evolusi tiga kali secara independen, dan telah ada selama paling tidak 500 tahun (hampir tidak berubah).
Ubur-ubur bertahan hidup melewati lima peristiwa kepunahan massal di Bumi, yang memusnahkan 99% kehidupan.
Ubur-ubur telah mengembangkan kemampuan unik, yang beberapa tampak seperti supernatural. Ubur-ubur sisir memiliki bio-luminesensi yang membuat badannya bercahaya. Satu spesies tropis telah membentuk simbiosis dengan ganggang fotosintetik, yang bekerja seperti panel surya mereka sendiri, sehingga mereka bisa memperoleh energi langsung dari matahari.
Ada pula spesies lain yang bisa beranak-pinak dalam jumlah tak terhingga: ubur-ubur bulan betina pernah terlihat melepaskan lebih dari 400.000 bayi sekaligus.
Yang paling menakjubkan tentu saja adalah kemampuan mereka memiliki kesempatan kedua mereka saat muda. Ketika kondisi lingkungan tidak menguntungkan, spesies tertentu seperti ubur-ubur kompas, barel, dan bulan bisa membalikkan perkembangan mereka sehingga mereka kembali menjadi anakan ubur-ubur dalam rangka menunggu masa-masa sulit berlalu.
Shutterstock
Banyak ubur-ubur yang tergolong dalam kelas scyphozoa memiliki siklus hidup yang rumit dan luar biasa. Tahap kehidupan mereka amat jauh berbeda sehingga mereka pernah dianggap spesies yang sama sekali berbeda.
Ubur-ubur dewasa bereproduksi secara seksual, dengan melepaskan ribuan bayi yang dikenal sebagai planula ke plankton. Planula menghabiskan beberapa hari terapung-apung sebelum menetap pada permukaan yang keras seperti batu, atau permukaan buatan seperti beton atau plastik.
Tiap planula kemudian berkembang menjadi polip, bentuk kehidupan stasioner kecil (2-3 mm) yang memakan potongan terapung plankton. Polip-polip ini bereproduksi secara aseksual, membentuk sebuah koloni klon.
Bila saatnya tepat, klon menjalani proses yang disebut strobilasi, yang mengubah tiap klon menjadi sesuatu yang tampak seperti tumpukan kue dadar. Satu demi satu, mereka kemudian dilepaskan ke plankton di sekitarnya.
Meski hanya berukuran beberapa millimeter dan kurang memiliki ciri khas spesies dewasa, “kue dadar” ini sesungguhnya adalah ubur-ubur kecil. Akhirnya mereka akan matang menjadi dewasa yang bereproduksi secara seksual, dan memulai siklusnya lagi (asumsikan mereka tidak membalikkan perkembangan bila kondisi jelek).
Tergantung dari spesiesnya, satu polip bisa menghasilkan satu, segenggam, ratusan atau bahkan ribuan ubur-ubur dalam sekali waktu, kadang dalam periode bertahun-tahun. Kombinasi kemampuan reproduksi dewasa yang ditambah dengan reproduksi aseksual polip, dianggap sebagai salah satu alasan mengapa kawanan besar yang dikenal sebagai formasi kumpulan (bloom) ubur-ubur tampaknya bisa muncul entah dari mana.
Ubur-ubur tanpa diragukan lagi bisa menyebabkan masalah ekologi dan ekonomi bagi manusia. Ledakan massal ubur-ubur bisa membanjiri peternakan ikan, menghambat pipa pendingin pembangkit listrik, merusak jaring ikan dan menghancurkan bisnis wisata.
Sengatan mereka juga menyebabkan reaksi alergi berat yang dikenal sebagai anafilaksis dan bahkan membunuh manusia. Namun ubur-ubur juga merupakan sumber kolagen medis, yang bisa digunakan dalam pembalut luka atau bedah rekonstruksi, dan mereka dianggap makanan lezat di Jepang dan Cina.
Namun kontribusi terbesar ubur-ubur untuk umat manusia pastilah protein fluoresen hijau (PFH), “biomarker” umum yang disintesis dari ubur-ubur kristal. PFH memungkinkan ilmuwan memantau bagaimana gen-gen tertentu bekerja secara langsung, dan telah membuktikan riset medis yang tak ternilai.
PFH telah digunakan pada lebih dari 30 ribu studi, termasuk studi tentang HIV dan penyakit Alzheimer. Tak heran, para ilmuwan di balik sintesis PFH diganjar Nobel Kimia pada 2008.
Ubur-ubur mungkin awalnya dianggap penjahat, tapi bagi banyak ilmuwan di seluruh dunia, mereka telah menjadi pahlawan yang tidak disengaja.
Masih sangat banyak yang bisa kita temukan mengenai organisme mengagumkan ini. Ada banya bukti yang menunjukkan jumlah ubur-ubur meningkat di wilayah tertentu akibat perubahan iklim dan penangkapan berlebih spesies lain.
Ada yang menganggap jumlah ubur-ubur mungkin bertambah di seluruh dunia. Akan tetapi, saat ini kita kekurangan data pasti untuk mengetahui apa yang tengah terjadi pada mayoritas populasi ubur-ubur.
Misteri lainnya adalah peran sejati ubur-ubur dalam ekosistem. Hingga saat ini ditengarai bahwa ubur-ubur mungkin tidak dimakan oleh apapun selain penyu atau ikan mola-mola yang sesekali muncul, dan mereka tidak menyumbang kontribusi berarti pada rantai makanan. Hal ini memicu kekhawatiran bahwa ketika populasi ubur-ubur membengkak, tidak akan ada kontrol alami, dan ekosistem jadi didominasi mereka.
Kekhawatiran ini tidak sepenuhnya sepele, dan ekosistem yang didominasi ubur-ubur tampaknya telah terbentuk di lepas pantai Namibia. Namun teknik analitis baru yang melibatkan akustik, kamera laut, analisis kimia, dan analisis DNA telah menunjukkan berbagai spesies sesungguhnya memakan ubur-ubur.
Ini berarti, mungkin ubur-ubur memiliki peranan yang lebih penting dalam ekosistem laut daripada yang diduga sebelumnya. Mendokumentasikan dan memahami hal ini adalah prioritas utama bagi peneliti ubur-ubur.
Philip Lamb, PhD Candidate in Marine Biology, University of East Anglia
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | hera sasmita |
KOMENTAR