Nationalgeographic.co.id—Sebagai negara majemuk, Indonesia merupakan negara yang kaya akan keragaman budaya, adat istiadat, agama, dan masih banyak lainya. Namun tahukah Anda bahwa negara Republik Indonesia tidak hanya memiliki enam “Agama Resmi” saja—Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Akan tetapi, ada beberapa kepercayaan atau keyakinan yang sudah lahir sejak zaman dulu. Salah satunya adalah Tao.
Agama Tao lahir di negeri Tiongkok sekitar 7.000 tahun silam. Umumnya agama Tao diyakini berasal dari Kaisar Kuning (Huang Di), sebab dialah yang pertama kali memperkenalkan nilai-nilai Tao dalam menjalankan pemerintahanya.
Agama Tao masuk dan berkembang di Indonesia sejak abad ke-6 SM, hal ini beriringan dengan masuknya orang-orang Tionghoa pada wilayah Nusantara. Kedatangan mereka telah membawa tradisi dan budaya leluhurnya yang sudah lama berkembang di daerah asalnya, seperti: agama dan kepercayaan tradisional.
Selama ini banyak masyarakat yang belum mengetahui bahwa Tao sebagai salah satu agama yang ada di tanah Indonesia. Dalam konsep Tridharma, Tao merupakan suatu ajaran tersendiri yang berdampingan dengan Buddha serta Khonghucu. Hingga saat ini pun Tao belum mendapatkan pengakuan sebagai agama resmi dari negara. Berbeda halnya dengan nasib agama Khonghucu yang kini telah “merdeka" setelah dibukanya keran reformasi.
Pengakuan Negara Indonesia Terhadap Agama Tao
Dalam studi yang dilakukan Arnis Rachmadani bertajuk Keberadaan dan Kegiatan Tao sebagai Agama, ia mengatakan bahwa negara memandang agama Tao hanya sebagai salah satu nilai filsafat kebudayaan. Padahal Tao dapat dijelaskan melalui definisi agama yang umum digunakan dalam studi keagamaan. Definisi agama itu adalah yang dikemukakan oleh Leonard Swidler dan Paul Mojzes yang disebut sebagai definisi 4 Cs. Keempat Cs tersebut adalah creed, code, cult, dan community.
“Agama Tao dianggap hanya sebagai suatu nilai filsafat karena adanya prasangka-prasangka etnik terhadap etnik Tionghoa. Dan sayangnya nilai-nilai dalam agama Tao berbeda jamaknya agama yang diakui oleh negara seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan Budha sehingga dengan mudahnya label itu melekat pada agama Tao,” ujar Arnis
Nilai-nilai moral pada agama Tao bersumber pada Kitab Suci Tao De Jing yang kurang dikenal masyarakat secara umum, imbasnya prasangka-prasangka terhadap etnik Tionghoa menguat pada umat Tao yang dianggap “tidak beragama” namun hanya “percaya pada Tuhan Yang Maha Esa”.
Baca Juga: Klenteng Ancol: Kisah Damai Konghucu, Buddha, Tao, dan Muslim
Dalam pandangan awam Tao seringkali dikaitkan dengan agama Buddha karena beberapa kemiripan dalam ritus peribadatan, misalnya penilaian awam ini muncul karena masyarakat melihat bahwa umat Budha melakukan ritus keagamaan dengan menggunakan salah satu sarana seperti hio (dupa) yang juga dapat ditemui dalam ritus keagamaan Tao.
Perkembangan agama Tao di Indonesia juga sempat mengalami keterpurukan selama 30 tahun lebih karena kebijakan pemerintah yang kurang menguntungkan di masa Orde Baru. Hal ini terlihat pada Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Dampaknya agama maupun adat istiadat yang berasal dari daratan Cina, seperti agama Tao menjadi terlarang di Indonesia
Di era reformasi, perkembangan agama Tao perlahan mulai terbuka. Sebab dicabutnya Inpres No. 14/1967 dan diterbitkannya Keppres No 6/2000 menjadi angin segar bagi segala aktivitas keagamaan dan adat istiadat Cina yang sempat dilarang.
Menurut Arnis Rachmadani, Pelayanan dan bimbingan hak-hak sipil bagi umat beragama Tao saat ini lebih baik dibandingkan dengan era-era sebelumnya. Pada era pemerintahan terdahulu, umat Tao seolah dipaksakan untuk masuk agama lain, karena umat agama Tao harus memilih salah satu agama yang diakui kepemelukannya oleh pemerintah, yakni Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan Buddha.
Meskipun demikian, hingga saat ini umat Tao mengalami hambatan ketika hendak memperoleh bukti diri status kependudukan berupa KTP. Mereka tidak dapat mencantumkan keyakinan yang dianut (agama Tao) pada format kolom agama KTP yang wajib diisi. Hal ini disebabkan agama Tao bukanlah agama resmi yang diakui oleh pemerintah.
Dalam perkembangannya karena KTP begitu penting tidak sedikit para penganut agama Tao terpaksa mengingkari ajaran agamanya berafiliasi dengan agama resmi. Mereka menuliskan kolom agama yang ada dalam KTP tersebut dengan mencantumkan “agama resmi” yang diakui Pemerintah Indonesia saat ini. Seringkali mereka cenderung memilih agama Budha sebagai identitas keagamaannya.
Meskipun keberadaan agama Tao di Indonesia dianggap sebagai “agama marginal”, namun pada kenyataannya kehidupan beragama umat Tao berjalan secara alamiah tanpa adanya hambatan. Setelah sekian lama mengalami berbagai macam diskriminasi, namun umat Tao cenderung untuk bersikap dialogis dan melakukan pendekatan persuasif.
Baca Juga: Jejak Cina Timor: Dari Cendana, Kuomintang, Hingga Masa Kini
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR