Ia menjelaskan, dengan karbon dioksida yang lebih tinggi, pohon dan hutan menguapkan lebih sedikit uap air ke udara, sehingga lebih sedikit awan yang terbentuk di atas Amazon. "Dan bukannya bergabung dengan awan yang biasanya melimpah dan hujan di atas hutan, uap air dari Samudra Atlantik bertiup melintasi benua Amerika Selatan ke pegunungan Andes, di mana ia turun sebagai hujan di lereng gunung, dengan manfaat terbatas. ke hutan hujan di lembah Amazon," jelasnya.
Baca Juga: Genetika Hutan Borneo Ungkap Masa Lalu dan Kemungkinan Masa Depannya
Kondisi berlawanan justru terjadi di Afrika tengah dan nusantara serta daerah luas sekitarnya mulai dari Pasifik, Samudera Hindia yang mencakup Malaysia hingga Papua Nugini. Hutan di Kalimantan dan Sumatera akan dikelilingi oleh udara lembab di atas permukaan laut yang hangat.
"Anda akan mendapatkan kontras yang lebih kuat dalam pemanasan di atas pulau-pulau dibandingkan dengan laut di dekatnya, sehingga akan meningkatkan angin laut-darat alami, menarik lebih banyak uap air dari sistem laut tetangga ini untuk meningkatkan curah hujan di atas hutan,” katanya.
Proyek penelitian tersebut menggunakan kombinasi simulasi standar Coupled Model Intercomparison Project Phase 5 dan simulasi canggih Community Earth System Model. Simulasi tersebut mengungkapkan bahwa respons vegetasi tropis terhadap CO2 yang lebih tinggi dapat menjadi faktor penting pendorong perubahan iklim di daerah tropis. Peneliti juga menyoroti fakta bahwa akibat kekeringan dan kematian hutan di Amazon dan potensi peningkatan banjir di hutan hujan lainnya dapat berdampak pada keanekaragaman hayati, ketersediaan air tawar, dan pasokan makanan bagi populasi yang rentan secara ekonomi.
Baca Juga: Bincang Redaksi-41: Nyawa Terakhir Pesut Mahakam yang Makin Terancam
Source | : | Nature Climate Change,University of California News |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR