Nationalgeographic.co.id—Abad 21 memang baru berjalan belum genap 22 tahun. Namun seperti abad-abad sebelumnya, abad ini juga telah diwarnai banyak aksi protes dan demonstrasi di berbagai belahan dunia.
Beberapa aksi protes terbesar dalam sejarah abad 21 sejauh ini telah menentukan dalam mengubah undang-undang yang tidak adil, meminta pertanggungjawaban pemerintah dan banyak lagi. Beberapa aksi protes juga telah menarik begitu banyak orang ke jalan sehingga aksi-aksi tersebut menjadi titik balik dalam sejarah dunia.
Memang banyak protes besar tidak selalu mencapai tujuannya, seperti halnya aksi menolak UU KPK Baru dan aksi menolak UU Cipta Kerja (dijuluki juga sebagai UU Cilaka) di Indonesia. Tapi, bagaimanapun, aksi-aksi protes itu tetap meninggalkan bekas di masyarakat.
Bahkan, aksi-aksi protes besar di dunia sering kali menginspirasi demonstrasi-demonstrasi lain di seluruh dunia dan hingga selama beberapa dekade. Berikut adalah empat aksi protes terbesar dalam sejarah abad 21 sejauh ini, seperti dikutip dari Live Science.
1. Aksi Protes Petani India (2020-2021)
Pada awal Desember 2021, puluhan ribu petani di India yang telah memprotes rencana perubahan undang-undang seputar produk mereka setuju untuk pulang. Menurut Business and Human Rights Resource Centre, aksi demonstrasi ini telah diikuti oleh sekitar 250 juta orang dan berlangsung berbulan-bulan.
Undang-undang yang diusulkan akan melonggarkan aturan seputar penjualan, penetapan harga, dan penyimpanan produk pertanian. Para petani mengatakan aturan itu akan membiarkan mereka bergantung pada bisnis-bisnis besar. Dengan sekitar setengah populasi terlibat dalam pertanian di India, kemungkinan dampaknya sangat besar.
Pada September 2020, para pekerja pertanian mulai memblokir jalan dan rel kereta api di negara bagian Punjab dan Haryana. Beberapa petani mulai membakar ladang mereka sementara aksi mogok makan juga dilakukan oleh para pemimpin protes, sebagaimana diberitakan New York Times.
Para pengunjuk rasa kemudian berbaris ke Delhi di mana pihak berwenang mencoba untuk mengusir mereka kembali. Pada saat itu, protes mendapat dukungan luas dan pada November 2020, lebih dari 250 juta pekerja melakukan pemogokan untuk mendukung para petani.
Pada Januari 2021, Mahkamah Agung India menunda undang-undang tersebut, menurut The Guardian, tetapi pengunjuk rasa menolak untuk berkompromi. Ribuan orang tetap berdemonstrasi hingga berkemah di Delhi di bawah kondisi suhu ekstrem serta pandemi COVID-19.
Modi mencabut undang-undang tersebut pada November 2021 dan para pengunjuk rasa mundur beberapa minggu kemudian. Namun mereka mengatakan mereka bisa saja kembali ke jalan jika ke depannya tidak ada dukungan pemerintah terkait penetapan harga minimum produk pertanian.
2. George Floyd dan Black Lives Matter (2020)
Di tengah pandemi virus corona, pembunuhan satu orang memicu protes massal yang dengan cepat menyebar ke seluruh dunia. Pembunuhan George Floyd di Minneapolis, Amerika Serikat, pada 25 Mei 2020, menyebabkan gelombang kemarahan yang segera diikuti dengan demonstrasi massal yang melibatkan jutaan orang.
George Floyd meninggal setelah petugas polisi Derek Chauvin berlutut di lehernya selama lebih dari sembilan menit selama penangkapan. Sebuah video dia memohon bantuan dan mengatakan dia tidak bisa bernapas menjadi viral. Dalam 48 jam setelah kematiannya, ribuan pengunjuk rasa berada di jalan-jalan kota-kota Amerika, berbaring di lantai dan meneriakkan "Saya tidak bisa bernapas," menurut laporan New Yorker.
Seminggu kemudian, protes telah dilakukan di 75 kota besar dan kecil di AS. Kekerasan pecah di beberapa dan lebih dari 4.000 orang telah ditangkap, menurut pemberitaan CNN. Presiden AS Donald Trump mengatakan dia sedang mempertimbangkan intervensi militer.
Protes sebagian dikoordinasikan oleh gerakan Black Lives Matter. Gerakan ini juga menjadi global, dengan isu ras dan rasialisme yang lebih luas memicu demonstrasi di kota-kota di seluruh dunia. Demonstrasi berlanjut hingga Juni 2020 meskipun jumlahnya mulai berkurang.
3. Women's March (2017)
Ketika seorang pensiunan pengacara, Teresa Shook, menyerukan Facebook untuk bertindak menyusul kemenangan Donald Trump dalam pemilihan Presiden 2016, dia memulai serangkaian peristiwa yang akan mengarah pada protes satu hari terbesar dalam sejarah AS.
"Kita harus bergerak," tulisnya di Pantsuit Nation, kelompok pribadi pendukung Hillary Clinton. Sehari setelah pelantikan Trump, lebih dari setengah juta orang benar-benar melakukan gerakan itu di Washington D.C.
Mereka bergabung dengan jutaan lainnya di seluruh AS. Perkiraan resmi menempatkan ada sekitar 1,5% dari total populasi AS yang berpartisipasi dalam gerakan ini. Pada hari yang sama, 21 Januari 2017, pawai "sister" di seluruh dunia membawa ratusan ribu dukungan, menurut London School of Economics.
Protes dimulai sebagai penentangan terhadap sikap presiden baru AS terhadap perempuan serta politiknya. Banyak dari para demonstran mengenakan topi "pussy" berwarna merah muda, mengacu pada bahasa yang digunakan oleh Donald Trump dalam rekaman percakapan tentang perempuan, seperti dilansir New York Times.
Ini diperluas untuk mencakup banyak penyebab. Satu plakat, sekarang di Museum Nasional Sejarah Amerika, berbunyi "Perempuan memiliki hak yang sama, perubahan iklim itu nyata, cinta adalah cinta, imigran membuat Amerika hebat."
Gerakan itu berlanjut di tahun-tahun berikutnya meskipun jumlah pengunjuk rasa tidak pernah menyamai tahun 2017, menurut Washington Post.
Baca Juga: Kenapa Batasan Periode untuk Jabatan Presiden adalah Hal yang Baik?
Baca Juga: Sering Muncul dalam Demonstrasi, Apa itu Gerakan Antifasisme?
4. Protes Anti-Perang Irak (2003)
Pada 15 Februari 2003, jutaan orang berbaris di lebih dari 600 kota menentang rencana Presiden AS George W. Bush untuk menginvasi Irak, menurut The Huffington Post. Di Roma saja, 3 juta orang ambil bagian dalam protes tersebut. Tapi beberapa minggu kemudian, invasi ke Irak dimulai.
Presiden Bush telah berargumen selama berbulan-bulan bahwa Irak melanggar resolusi PBB mengenai senjata pemusnah massal. Dalam beberapa hari setelah pidatonya di PBB, pada September 2002, seruan untuk bertindak terhadap kebijakan invasinya dimulai. Pada akhir 2002, European Social Forum, pertemuan gerakan keadilan global, mengusulkan hari protes pada Februari 2003.
Sebuah program koordinasi skala besar memuncak dalam protes global pada 15 Februari. Diperkirakan 750.000 orang polisi di Inggris, di mana Perdana Menteri Tony Blair mendukung rencana perang Irak, berbaris di London. Lebih dari 1,5 juta melakukan aksi protes di Madrid dan sekitar 80.000 orang di Dublin, menurut The Guardian. Di New York, sekitar 100.000 orang ikut serta dalam protes di dekat markas besar PBB, lapor BBC.
Protes sebagian besar berlangsung damai. Namun, aksi-aksi protes ini memiliki sedikit dampak pada kebijakan. Invasi AS ke Irak tetap dilakukan dan dimulai sejak 20 Maret 2003.
Source | : | Washington Post,New York Times,CNN,london school of economics and political science,Live Science,BBC,The Guardian,New Yorker |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR