Nationalgeographic.co.id—Kesultanan Utsmaniyah atau Kekaisaran Ottoman seringkali digambarkan kasar dan kejam dalam interpretasi barat. Di sisi lain, kepercayaan barat juga mengeksotisasi orang-orang Kesultanan Utsmaniyah.
Salah satu yang paling kontroversial adalah penggambaran praktik harem dalam Kesultanan Utsmaniyah. Sultan-sultan Utsmaniyah dikesankan "penuh nafsu" yang hidup dengan dikelilingi wanita-wanita cantik.
Melansir Ancient Origins, harem dalam Kesultanan Utsmaniyah dideskripsikan sebagai kumpulan istri, pelayan dan selir Sultan yang jumlahnya bisa mencapai ratusan. Mereka dijadikan pemuas hasrat seksual, namun terkadang digunakan untuk melahirkan ahli waris.
"Para anggota harem lebih dari sekadar mainan seksual bagi Sultan," tertulis dalam artikel tersebut.
Jadi, harem dianggap tidak hanya menjadi pemuas hasrat seksual bagi Sultan. Harem melayani Sultan dengan lebih dari satu cara.
Utamanya, harem menjadi simbol utama kekuasaan dan kekayaan Sultan. Kepemilikannya atas wanita dan kasim, sebagian besar sebagai budak, menunjukkan kekayaan dan kehebatannya.
Institusi harem diperkenalkan di masyarakat Turki dengan adopsi Islam, di bawah pengaruh Kekhalifahan Arab, yang ingin ditiru oleh Utsmaniyah, menurut artikel tersebut.
Sebagian besar pria dan wanita di dalam harem dibeli sebagai budak untuk memastikan kepatuhan, namun beberapa tetap bebas.
Istri utama, terutama yang menikah untuk memperkuat aliansi pribadi dan dinasti, adalah wanita bebas. Budak pria dan wanita bebas sama-sama diberi pendidikan di dalam harem.
Pada akhir pendidikan masing-masing, pria dan wanita akan dinikahkan satu sama lain. Selanjutnya, orang-orang itu akan dikirim untuk menduduki pos-pos administratif di provinsi-provinsi kesultanan.
Karena praktik ini, hanya sejumlah kecil wanita yang dipilih untuk menjadi bagian dari selir pribadi Sultan. Kelompok wanita ini diperintah oleh Valide Sultan, biasanya ibu Sultan sendiri.
Jumlah wanita yang lebih kecil akan dipilih sebagai favorit Sultan, atau disebut hasekis. Bahkan wanita-wanita ini dapat dipilih untuk dinikahkan atau dikirim sebagai hadiah kepada anggota elit Utsmaniyah yang terhormat, yaitu jika mereka tidak melakukan hubungan seksual dengan Sultan sebelumnya.
Wanita paling kuat di harem disebut Valide Sultan. Ia akan menjadi istri atau selir ayah Sultan dan akan naik ke peringkat tertinggi di dalam institusi harem.
Tidak ada wanita istana yang bisa meninggalkan atau memasuki tempat harem tanpa izin dari Valide Sultan dan para kasim istana. Valide Sultan juga bertanggung jawab atas pendidikan putranya tentang seluk-beluk politik negara.
Dia sering diminta untuk mengintervensi keputusan putranya sebagai anggota pengadilan kekaisaran juga.
Wanita terkuat berikutnya di harem adalah selir yang naik pangkat untuk mencapai gelar Gözde (Favorit), Ikbal (Yang Beruntung) atau Kadın (Wanita/Istri).
Secara tradisional Sultan hanya dapat memiliki empat harem sebagai favoritnya dan mereka memiliki peringkat yang setara dengan istri sah Sultan dalam hierarki harem. Mereka diberi apartemen di dalam istana, serta pelayan dan kasim.
Biasanya, harem selir, bersama istri sah, digunakan untuk tujuan reproduksi. Berfungsi untuk menekankan kekuatan patriarki Sultan. Namun, budak wanita, tidak seperti istri yang sah, tidak memiliki garis keturunan yang diakui.
Istri sah dikhawatirkan memiliki kepentingan dalam mempromosikan putra mereka sendiri, yang mengarah pada ketidaksetiaan kepada Sultan.
Oleh karena itu, selir lebih dapat dipercaya dalam hal menghasilkan anak laki-laki, karena mereka tidak tertarik dengan promosi anak-anak mereka, karena itu tidak akan berpengaruh pada mereka sebagai ibu.
Baca Juga: Praktik Penggunaan 'Obat' Narkotika di Zaman Kesultanan Utsmaniyah
Baca Juga: Besar dan Kuat, Inilah Rahasia Unta Perang Kesultanan Utsmaniyah
Baca Juga: Mengungkap Periode Kesultanan Utsmaniyah dan Romawi di Yerusalem
Baca Juga: Ketika Ilmuwan Israel Selidiki Bangkai Kapai Perang Mesir-Utsmaniyah
Melalui praktik ini, selir dipandang sebagai sumber anak laki-laki yang lebih sah karena tidak ada kesempatan untuk pengkhianatan dari para istri. Jadi disebutkan, ada banyak Sultan yang ternyata justru anak selir, bukan anak resmi Sultan.
Meski demikian, selir tidak pernah bisa naik ke tampuk kekuasaan secara politik atau mendapatkan legitimasi dalam keluarga kerajaan. Meski anaknya bisa menjadi Sultan berikutnya.
Namun demikian, Janric van Rookhuijzen, Arkeolog dari Utrecht University menulis untuk The Conversation, bahwa barat berperan dalam mengeksotisasi orang-orang Kesultanan Utsmaniyah.
"Sentimen negatif barat tentang Turki memiliki konsekuensi yang mengerikan," kata Rookhuijzen. "Kisah-kisah anti-Timur terus diceritakan dengan mengorbankan orang-orang Turki."
Source | : | The Conversation,Ancient Origins |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR