Nationalgeographic.co.id—Penelitian baru dari University of Cape Town mengidentifikasi dan menggambarkan peninggalan tufa (batu putih), bukti aliran sungai, air terjun, dan kolam dangkal di masa lalu. Temuan tersebut terdapat di situs Bukit Ga-Mohana di Kalahari selatan, Afrika Selatan.
Temuan tersebut merupakan catatan paleoklimat dan arkeologi yang terperinci dan tertanggal dengan baik. Temuan ini sangat penting untuk memahami dampak perubahan lingkungan pada evolusi manusia.
Laporan penelitian tersebut telah diterbitkan di PLOS One dengan judul "Tufas indicate prolonged periods of water availability linked to human occupation in the southern Kalahari."
"Asumsi umum adalah bahwa Gurun Kalahari adalah lingkungan yang keras yang tidak cocok untuk kelangsungan hidup manusia purba," kata Jayne Wilkins arkeolog yang meneliti temuan tersebut seperti dilansir Sci-News.
"Namun, mereka memang hidup di sana dan berkembang." Wilkin adalah arkeolog dari Australian Research Centre for Human Evolution di Griffith University dan Human Evolution Research Institute di University of Cape Town.
Untuk diketahui, cekungan Kalahari, di pedalaman Afrika bagian selatan, adalah wilayah semi-kering yang telah mengalami fluktuasi iklim yang signifikan dengan catatan paleoenvironment dan arkeologi yang melimpah.
Dengan demikian, wilayah ini memberikan kesempatan unik untuk mengeksplorasi lebih lanjut interaksi manusia-lingkungan awal. Misalnya, di Kalahari selatan, banyak bukti menunjukkan periode yang sangat berbeda dan jauh lebih basah selama sebagian besar Pleistosen.
Catatan paleoenvironmental dari sisa-sisa makrobotani dan fauna, serbuk sari, dan komposisi isotop stabil dari email gigi mamalia hingga kulit telur burung unta menunjukkan pergeseran iklim.
Wilkin mengatakan, penelitian mereka menunjukkan selama beberapa periode di masa lalu Gurun Kalahari subur dan jauh lebih basah daripada hari ini. Manusia bisa berkembang dalam kondisi basah ini.
Namun, untuk menilai lebih lengkap respon Homo sapiens terhadap perubahan iklim dan lingkungan, diperlukan catatan yang lebih baik tentang lingkungan masa lalu dari proxy yang berbeda.
Baca Juga: Temuan Gigi Geraham di Laos, Diduga Milik Manusia Purba Denisova
Baca Juga: Manusia Purba Keluar dari Afrika Lebih dari Satu Gelombang Migrasi
Baca Juga: Ahli Buktikan Manusia Purba Sedang 'Fly' Sambil Menonton Gambar Cadas
"Kami juga menemukan bahwa pada 20.000 tahun yang lalu, manusia hidup di Kalahari selama kondisi kering memberi kami wawasan tentang bagaimana perubahan iklim berdampak pada evolusi manusia," kata Wilkin.
Wilkins dan rekan-rekannya mempelajari endapan tufa, yaitu mata air, air terjun, atau kolam yang telah berubah menjadi batu. Endapan tersebut berada di bukit Ga-Mohana di Kalahari selatan di Afrika Selatan, sebuah situs yang memiliki makna spiritual bagi masyarakat setempat.
Melalui penanggalan uranium-thorium, mereka menghasilkan catatan terbaru tentang ketersediaan air yang berkepanjangan terkait dengan pendudukan manusia di Kalahari selama Pleistosen Akhir.
"Air mengendap dan meninggalkan kalsium karbonat yang dapat dibor oleh tim dan menentukan tanggalnya," Wilkins menjelaskan.
"Tanggal-tanggal ini memberi tahu kita kapan itu lebih basah di masa lalu."
Di sini, para peneliti menggunakan skrining ablasi laser untuk menargetkan bahan yang cocok untuk penanggalan uranium-thorium. "Kami memperoleh 33 usia yang mencakup 110 ribu tahun terakhir dan mengidentifikasi lima episode pembentukan tufa," tulis peneliti dalam makalahnya.
Para peneliti juga menemukan beberapa bukti paling awal di dunia tentang perilaku teknologi inovatif.
"Kami menemukan banyak peralatan batu dan sisa-sisa tulang dari makanan yang akan mereka konsumsi," kata Wilkins.
"Temuan penting adalah kristal kalsit, kubus kristal bening yang tidak memiliki nilai fungsional tetapi mungkin dikumpulkan untuk alasan sentimental seperti kolektor perangko, atau mungkin untuk alasan ritual."
Penelitian mereka, katanya, menunjukkan bahwa ini bukan hanya tentang bertahan hidup bagi Homo sapiens di Gurun Kalahari. "Tetapi mereka berkembang dengan pengetahuan, sistem, dan teknologi canggih untuk dapat mengakses sumber daya yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup dalam kondisi kering," kata Wilkin.
Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo
Source | : | Sci News,PLoS ONE |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR