Nationalgeographic.co.id—Sejak dulu, orang meningkatkan cita rasa makanan dan minuman dengan bumbu atau pemanis buatan. Misalnya di zaman Romawi, gula buatan ditambahkan ke minuman untuk menambah selera bagi peminumnya. Dalam kasus orang Romawi, alih-alih menambah kenikmatan, pemanis buatan ini justru membunuh banyak orang. Pasalnya, gula buatan itu mengandung timbal yang diam-diam mematikan. Beberapa sarjana bahkan mengatakan bahwa keracunan timbal ini turut berperan dalam kejatuhan kekaisaran yang besar ini.
Temuan tulang yang memiliki kadar timbal tinggi
Studi menunjukkan bahwa kadar timbal yang sangat tinggi ditemukan di tulang 30 orang yang tinggal di Londinium (sekarang London). Institut Kesehatan dan Keselamatan Kerja Amerika Serikat menyatakan bahwa 5 mikrogram timbal per desiliter darah orang dewasa menunjukkan bahwa darah telah menjadi racun. Para peneliti menemukan rata-rata 14,4 mikrogram timbal per desiliter darah di tulang paha yang mereka pelajari. Tulang-tulang tersebut berasal dari abad ke 1-3 Masehi.
“Temuan itu menunjukkan ‘lebih dari setengah populasi’ di London era Romawi mengalami keracunan timbal,” tutur Wu Mingren di laman Ancient Origins. Mungkinkah itu berasal dari logam di senjata, pipa, atau perhiasan mereka? Atau timbal itu masuk melalui makanan?
Menikmati garam Saturnus
Timbal(II) asetat (Pb(CH3COO)2) merupakan senyawa kimia beracun, karena mengandung timbal, yang rasanya manis. Terlepas dari namanya, senyawa berbahaya ini juga dikenal di masa lalu dengan nama lain, termasuk gula timbal dan garam Saturnus oleh orang dahulu, dan bubuk Goulard dari abad ke-18.
Meskipun timbal(II) asetat merugikan kesehatan manusia, ini banyak digunakan oleh orang Romawi kuno sebagai bentuk pemanis buatan. Bahan ini banyak ditemukan dalam anggur yang sangat digemari oleh bangsa itu.
Catatan beberapa penulis Romawi kuno menunjukkan bahwa orang Romawi sadar akan bahaya konsumsi timbal. Namun saat mereka menyadari, kerusakan telah terjadi.
Penggunaan gula timbal sebagai pemanis buatan oleh orang Romawi dapat ditemukan dalam tulisan beberapa penulis kuno. Plinius yang Tua, Cato, dan Columella menulis bahwa sirup dibuat dengan merebus jus anggur yang tidak difermentasi. Ini dilakukan untuk mendapatkan gula alaminya. Jika jus dikurangi menjadi setengah dari volume aslinya, itu disebut defrutum. Sedangkan sirup yang mengandung sepertiga dari volume aslinya dikenal sebagai sapa.
Saat jus direbus dalam ceret yang terbuat dari paduan timbal, unsur berbahaya ini bisa meresap ke dalam sirup. Ketika bereaksi dengan ion asetat dalam jus anggur, timbal(II) asetat diproduksi.
Mungkin bukan timbal(II) asetat, melainkan konsentrasi glukosa dan fruktosa dari jus anggur, yang memberikan rasa manis pada sirup. Mungkin rasa manis ekstra yang diberikan senyawa pada sirup itulah yang menarik perhatian orang Romawi.
Menurut salah satu sumber, penemuan timbal(II) asetat sebagai pemanis adalah sebuah kebetulan. Saat mencoba membuat produk jadi lebih manis, pembuat anggur Romawi bereksperimen. Mereka menggunakan berbagai bahan dan teknik persiapan. Suatu saat, mereka mencoba merebus sisa jus anggur yang tidak difermentasi dalam ceret timah. Ketika cara ini menghasilkan sirup termanis, mereka memutuskan untuk mulai membuatnya dalam jumlah besar. Dengan menggunakan ceret timah itu.
Keracunan gula yang mengandung timbal
Bangsa Romawi kemudian menemukan cara untuk mengubah timbal(II) asetat menjadi bentuk kristal. Ini berarti bahwa zat beracun dapat diproduksi menjadi garam meja atau gula.
Sebagai konsekuensi dari inovasi ini, konsumsi timbal(II) asetat menjadi lebih luas, karena mulai digunakan untuk memasak juga. Misalnya dalam buku resep Apicius, hampir seperlima dari resepnya untuk saus dibuat dengan gula timbal.
Asupan besar timbal ini berarti orang Romawi mulai menderita keracunan timbal. Beberapa gejala keracunan timbal adalah muntah, kesulitan kognitif, kelelahan, lekas marah, dan kehilangan nafsu makan. Kebetulan, keracunan ini dikenal juga sebagai 'plumbisme' atau 'saturnisme'. Gejala-gejala ini diyakini menyerupai sifat melankolis dan moody dewa Saturnus.
Beberapa sejarawan melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa keracunan timballah yang menyebabkan berakhirnya Kekaisaran Romawi. Namun, para ahli itu menyoroti peran pipa timbal, yang digunakan untuk mengangkut air. Pipa ini menyebabkan banyak orang Romawi mengalami keracuran yang berakibat kematian.
Tampaknya bahaya keracunan timbal akhirnya dipahami oleh orang Romawi. Columella, misalnya, menganjurkan penggunaan pipa terakota untuk mengangkut air hujan. Menurutnya kombinasi ini memiliki efek terbaik pada kesehatan fisik seseorang. Tapi, Columella juga menyarankan agar anggur dicampur dengan gula timbal dalam bentuk sirup untuk mempermanisnya.
Vitruvius menunjukkan bahwa timbal putih diperoleh dari timbal. Karena timbal putih berbahaya bagi kesehatan manusia, secara tidak langsung pipa timbal juga berbahaya. Oleh karena itu, ia juga merekomendasikan agar pipa tanah liat digunakan sebagai gantinya.
Alih-alih menuruti saran ahli, tampaknya orang Romawi terus mengonsumsi timbal. “Pada akhirnya, kebiasaan ini berdampak negatif pada kekaisaran secara keseluruhan,” tutur Mingren.
Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo
Source | : | ancient origins |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR