Nationalgeographic.co.id—Tercatat lebih dari seratus orang tewas dan ratusan orang lainnya luka-luka akibat tragedi kericuhan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, pada Sabtu malam, 1 Oktober silam. Dalam konferensi pers mengenai Tragedi Kanjuruhan ini disebutkan, kebanyakan korban berasal dari pihak suporter Arema, yakni Aremania. Korban jiwa dari pihak kepolisian berjumlah dua orang.
Sampai berita ini diterbitkan, Dinas Kesehatan Kota Malang telah melaporkan 131 orang tewas dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan. Banyak pihak mengkritik aksi polisi menembakkan gas air mata kepada suporter Arema di lapangan Stadion Kanjuruhan, bahkan juga ke arah tribun penonton, yang memicu kepanikan massal sehingga membuat orang berdesakan menuju pintu keluar. Hal ini menyebabkan penumpukan massa di dekat pintu keluar sehingga membuat banyak penonton sesak napas, lemas, dan bahkan terinjak-injak.
Kejadian ini sangat disayangkan, terutama terkait penggunaan gas air mata yang ditembakkan hingga puluhan kali oleh pihak kepolisian. Padahal dalam aturan FIFA, badan pengatur sepak bola dunia, terkait pengamanan dan keamanan stadion (FIFA Stadium Saferty dan Security Regulations), petugas keamanan tidak diperbolehkan memakai gas air mata.
Hal itu tertulis di pasal 19 B tentang petugas penjaga keamanan lapangan (pitchside stewards), yang berbunyi, "No firearms or 'crowd control gas' shall be carried or used." Artinya, "senjata api atau 'gas pengendali massa' tidak boleh dibawa atau digunakan."
Dalam tragedi Kanjuruhan, polisi berdalih bahwa gas air mata ditembakkan untuk mereda kericuhan. Namun, polisi tidak hanya menembakkan gas air mata ke arah suporter yang masuk ke lapangan, tapi juga ke tribun penonton sehingga memicu kepanikan.
Larangan penggunaan gas air mata di stadion bukanlah tanpa alasan. Gas air mata telah menjadi faktor dalam beberapa bencana stadion sebelumnya, karena orang-orang di kerumunan saling menekan saat mereka berusaha melarikan diri melalui pintu keluar yang terbatas atau bahkan terkunci.
American Lung Association juga mencatat banyak dampak buruk yang bisa ditimbulkan oleh bahwa agen pengendali kerusuhan, atau yang sering disebut sebagai "gas air mata". Mereka menjabarkan gas air mata adalah bahan kimia yang menyebabkan iritasi kulit, pernapasan, dan mata. Beberapa bahan kimia yang paling umum digunakan adalah chloroacetophenone (CN) yang merupakan polutan udara beracun, chlorobenzylidenemalononitrile (CS), chloropicrin (PS), bromobenzylcyanide (CA) dan dibenzoxazepine (CR).
Secara umum, paparan gas air mata dapat menyebabkan sesak dada, batuk, rasa tercekik, mengi dan sesak napas, rasa terbakar pada mata, mulut dan hidung, serta penglihatan kabur dan kesulitan menelan. Gas air mata juga dapat menyebabkan luka bakar kimia, reaksi alergi, dan gangguan pernapasan. Orang yang punya masalah pernapasan, seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), memiliki risiko lebih tinggi mengalami gejala penyakit parah yang dapat menyebabkan gagal napas.
Efek kesehatan jangka panjang dari gas air mata lebih mungkin terjadi jika terpapar dalam waktu lama atau dalam dosis tinggi saat berada di area tertutup. Dalam kasus ini, dapat menyebabkan kegagalan pernapasan dan kematian.
Sebuah studi tahun 2017 dari data yang dikumpulkan selama 25 tahun pernah mencatat efek gas air mata pada tubuh manusia. Bahan kimia dan tabung yang digunakan untuk melepaskannya telah menyebabkan cedera parah, cacat permanen, dan kematian, seperti ditulis di Medical News Today.
Ada dua kematian yang tercatat dari 5.910 orang dalam penelitian ini. Yang pertama, pelepasan gas air mata di rumah seseorang menyebabkan kematian karena gagal pernapasan. Kematian kedua melibatkan dampak tabung gas air mata yang menyebabkan cedera kepala yang fatal.
Dalam penelitian ini, 58 orang melaporkan cacat permanen setelah terpapar gas air mata. Disabilitas tersebut antara lain terkait masalah pernapasan, efek kesehatan mental, kebutaan, kerusakan otak, kehilangan fungsi anggota badan, amputasi anggota badan, dan kondisi kulit.
Owen West, dosen senior kepolisian di Edge Hill University di Inggris, mengatakan gas air mata sangat berisiko untuk digunakan di daerah aman seperti stadion sepak bola di mana orang tidak punya tempat untuk pergi.
Baca Juga: Terpapar Gas Air Mata Kedaluwarsa, Apa Dampaknya bagi Tubuh?
Baca Juga: Sejarah Gas Air Mata, Pertama Kali Digunakan dalam Perang 1914
Baca Juga: Apa Dampaknya Bagi Tubuh Kita Bila Terkena Gas Air Mata? Berikut Penjelasannya
“Sangat, sangat berbahaya menggunakan taktik pembubaran seperti gas air mata dalam kasus (Kanjuruan) ini,” kata West, seperti dikutip dari The Washington Post. “Itu adalah senjata jarak jauh. Itu ada untuk membuat jarak antara massa dan polisi. Itu ada untuk membubarkan. Dan terutama di benak petugas polisi yang memikirkan taktik itu seharusnya baik, jika kita menggunakan perangkat ini, ke mana kita berharap orang-orang bubar (dari dalam stadion)?”
Gas air mata telah menjadi faktor dalam beberapa bencana stadion sebelumnya, karena orang-orang di kerumunan saling menekan saat mereka berusaha melarikan diri melalui pintu keluar yang terbatas atau bahkan terkunci. FIFA, badan pengatur sepak bola dunia, mengatakan dalam peraturannya untuk keamanan stadion bahwa tidak ada "gas pengendali massa" yang boleh dibawa atau digunakan oleh pramugara atau petugas polisi yang bertanggung jawab atas keamanan dalam pertandingan.
Mengingat efek yang bisa ditimbulkan gas air mata, sangat masuk akal bila ribuan penonton yang hadir dalam stadio jadi panik dan berdesak-desakan untuk menghindari gas tersebut. "Melarikan diri dari sesuatu yang merusak pernapasan, penglihatan, dan kesehatan Anda secara umum, itu adalah keputusan yang sepenuhnya rasional," kata Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty International untuk Indonesia.
Aerican Lung Association menyarankan, jika terkena gas air mata, Anda sebaiknya segera menjauhkan diri dari sumbernya dan mencari tempat yang lebih tinggi, jika memungkinkan. Bilas mata Anda dengan air dan gunakan sabun lembut, seperti sampo bayi, untuk mencuci muka. Jika masalah pernapasan berlanjut, segera cari bantuan medis.
Source | : | The Washington Post,American Lung Association,Medical News Today |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR