Nationalgeographic.co.id—Para ahli dari NUS Environmental Research Institute (NERI) di Singapura telah mengidentifikasi spesies baru pohon raksasa dari Sumatra. Spesies pohon yang baru diidentifikasi ini dinamakan Lophopetalum tanahgambut, nama yang merujuk kepada genus dan habitat pohon ini.
Laporan lengkap penemuan tersebut telah diterbitkan di jurnal Phytotaxa edisi 17 November 2022 dengan judul "Lophopetalum tanahgambut, a new endemic giant tree species from peat swamp forest of Sumatra, Indonesia, with the first pseudoverticillate leaf arrangement in genus Lophopetalum (Celastraceae)."
Lophopetalum tanahgambut merupakan pohon dengan kanopi atas yang besar yang tumbuh setinggi 40 m, dengan diameter batang setinggi dada mencapai 1,05 m. Spesies pohon yang baru diidentifikasi milik genus Lophopetalum dalam keluarga kosmopolitan Celastraceae.
Genus ini mencakup hampir 20 spesies asli yang diakui saat ini di India, Bangladesh, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Nepal, Nugini, Filipina, Thailand, Vietnam, Australia, dan Kepulauan Andaman.
"Dalam keluarga Celastraceae, suku Lophopetaleae termasuk tiga genera paleotropis dengan biji bersayap yang tidak memiliki aril: Kokoona, Lophopetalum dan Peripterygia," kata peneliti NERI Agusti Randi dan rekannya.
"Genus terbesar adalah Lophopetalum dengan 19 spesies yang ditentukan oleh permukaan bagian dalam kelopak dengan berbagai pelengkap," kata para peneliti.
"Lophopetalum membentang dari India hingga Australia utara tetapi keanekaragaman spesies berpusat di Malesia barat, dan tujuh dari 19 spesies yang diterima telah dilaporkan dari pulau Sumatra di Indonesia."
Tapi, ia menambahkan, semuanya merupakan perluasan dari spesies yang dideskripsikan dari spesimen dari Kalimantan, India atau Semenanjung Malaysia.
Dinamakan Lophopetalum tanahgambut, karena spesies baru ini hanya diketahui dari hutan rawa gambut di pulau Sumatra, Indonesia.
"Hutan rawa gambut dikenal dengan keunikannya yang miskin unsur hara, kaya karbon, dan kondisi basah yang memerlukan adaptasi khusus untuk bertahan hidup," jelas para peneliti.
"Habitat ini, bagaimanapun, masih dipelajari dengan buruk dan telah mengalami konversi ekstensif menjadi perkebunan dengan hanya 11% dari hutan rawa yang tidak terganggu yang tersisa dan dengan area lain yang terdegradasi dan masih mengalami konversi menjadi perkebunan."
Source | : | Sci-News,Phytotaxa |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR