Nationalgeographic.co.id—Masyarakat Kampung Folley, Distrik Misool Timur, Kepulauan Raja Ampat, melaksanakan acara buka sasi laut sejak 21 November hingga 11 Desember 2022. Wilayah sasi itu dibuka setelah ditutup selama satu tahun.
Kampung Folley adalah salah satu kampung di Kabupaten Raja Ampat yang didampingi oleh Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua Barat dalam hal pengelolaan sasi sejak tahun 2012. YKAN adalah organisasi nirlaba berbasis ilmiah yang memiliki misi melindungi wilayah daratan dan perairan sebagai sistem penyangga kehidupan.
Sasi merupakan salah satu praktik adat untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan yang masih diterapkan hingga hari ini di wilayah Maluku dan Papua. Banyak kampung adat di Raja Ampat yang masih menerapkan tradisi sasi. Salah satunya adalah Kampung Sawandarek yang pernah National Geographic Indonesia datangi Maret lalu.
Kampung Sawandarek telah melakukan sasi sejak lama. Sasi di area perariran tentu bahkan belum dibuka oleh mereka selama bertahun-tahun demi memulihkan ekosistem laut di wilayah itu yang sempat rusak akibat praktik penangkapan ikan menggunakan bom dan potas.
“Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh YKAN dan mitra untuk menjamin keberlanjutan hasil sasi adalah dengan pendampingan dalam hal monitoring wilayah sasi bersama masyarakat setempat. Hal ini bertujuan untuk menentukan waktu buka sasi yang tepat, serta menentukan ukuran biota sasi yang boleh dipanen,” ujar Lukas Rumetna, Bird’s Head Seascape Senior Manager YKAN dalam keterangan tertulis YKAN.
Wilayah sasi di Kampung Folley berada di wilayah milik Marga Fadimpo dan Moom. Namun begitu, masyarakat di luar marga tersebut serta masyarakat di luar Kampung Folley juga diperbolehkan untuk mengambil hasil sasi, berupa teripang.
“Kami tidak melarang masyarakat dari luar Kampung Folley untuk ikut mengambil hasil sasi. Namun mereka harus mengikuti aturan yang telah kami buat dan sepakati bersama,” jelas Kepala Kampung Folley Yefta Mjam.
Mereka yang ikut panen sasi harus mematuhi aturan-aturan yang sudah disepakati. Aturan-aturan tersebut antara lain ukuran teripang yang boleh diambil minimal sepanjang 15 sentimeter. Selain iyu, untuk menangkap teripang harus mengunakan alat yang ramah lingkungan.
Aturan lainnya, panitia akan mencatat setiap hasil tangkapan untuk memastikan ukuran sesuai yang disepakati. Kemudian, nota penjualan teripang harus dikembalikan kepada panitia, untuk pendataan hasil buka sasi.
Acara buka sasi dimulai dengan ibadah di gereja dengan berdoa bersama yang dilanjutkan dengan ritual adat untuk meminta izin kepada leluhur mereka agar hasil panen sasi melimpah. Saat malam tiba dan air laut mulai surut, masyarakat mulai beramai-ramai ke wilayah sasi untuk mengambil teripang. Biasanya mereka mencari teripang hingga pagi menjelang.
“Nenek moyang telah mengajarkan kepada kami tentang pemanfaatan sumber daya alam yang bijak melalui sasi, sehingga kami akan terus melestarikan budaya sasi ini,” ucap Leonard Moom, tokoh adat Kampung Folley.
Di Indonesia setidaknya ditemukan sebanyak 29 jenis teripang yang diperdagangkan. Pemanfaatan yang berlebih dan permintaan pasar yang tinggi menyebabkan populasinya di alam terus menurun bahkan beberapa jenis teripang saat ini sudah sangat jarang ditemukan. Untuk menjaga keberlangsungannya, diperlukan metode pengelolaan yang berkelanjutan.
Baca Juga: Hasil Buka Sasi Kelompok Perempuan Rajaampat: Panen Besar Biota Laut
Baca Juga: Harapan Baru, Pari Manta Karang Tumbuh Subur di Wilayah Raja Ampat Ini
Baca Juga: Indonesia Jadi Tempat Pembibitan Alami Pari Manta yang Langka
Pada awal masa pendampingan sasi di Kampung Folley, hanya 6 spesies teripang yang ditemukan saat melakukan buka sasi. Namun demikian, setelah dilakukan pengelolaan sasi secara berkelanjutan, saat ini dapat ditemukan 11 jenis teripang.
Salah satu contoh teripang yang mempunyai nilai ekonomis tinggi adalah teripang gosok (Holoturia scabra). Harga jenis teripang ini di pasaran lokal berkisar antara Rp600.000 samppai Rp1.000.000 per kilogram kering.
Menurut Direktur Program Kelautan YKAN Muhammad Ilman, konservasi di wilayah Bentang Laut Kepala Burung bisa berjalan efektif karena didukung oleh sistem sosial budaya yang terwujud menjadi kebijakan lokal. "Salah satu contohnya adalah sasi. Pengelolaan sasi yang baik akan mampu memperbaiki kondisi ekologi, sosial, dan ekonomi masyarakat,” tegasnya.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR