Nationalgeographic.co.id—Nuh, sosok orang suci atau nabi yang diamini oleh kalangan pemeluk agama-agama Abrahamik. Diriwayatkan dalam Alquran, Alkitab, dan Tanakh, ia menjadi tokoh utama dalam kisah banjir besar.
Tuhan memperingatkan kepada Nuh agar membangun bahtera besar. Isinya harus menampung keluarganya, pengikutnya, berpasang-pasang hewan, sebab air yang diturunkan akan menggenangi dunia.
Alasan Tuhan mengirimkan banjir, menurut Alquran, karena kaumnya enggan untuk bertaubat dan mendengarkan seruan Nuh. Sedangkan di Alkitab, Tuhan menyesal menciptakan manusia yang suka bertindak jahat sehingga harus dimusnahkan, kecuali Nuh dan keluarganya.
Hujan pun turun tanpa henti, menyebabkan banjir besar yang sangat lama melanda seluruh Bumi. Tidak ada yang selamat dalam banjir besar itu, kecuali mereka yang berada di dalam bahtera bersama Nuh. Singkatnya, banjir pun surut secara perlahan. Bahteranya pun berlabuh di pegunungan, kemudian hewan-hewan dilepaskan untuk mengisi kembali Bumi.
Sebelum Nuh, peradaban Timur Tengah juga mengenal dengan Wiracarita Gilgamesh yang merupakan mitologi Mesopotamia. Menurut cerita, tokoh bernama Utnapishtim ditugaskan untuk membangun kapal raksasa yang dinamai "Pelindung Kehidupan". Perintah itu datang dari Dewa Ea yang membocorkan rencana para dewa.
Dengan kapal itu, ia membawa keluarga dan kerabatnya, para pengerajin, binatang, dan benih-benih tanaman. Cerita ini ditemukan dalam karya sastra teks Sumeria yang ditulis sekitar 2100 SM. Melansir Britannica, para ahli memperkirakan cerita inilah yang diadaptasi agama-agama Abrahamik tentang Nuh.
Cerita tentang banjir besar Nuh dan Utnapishtim bukan satu-satunya. Ada banyak mitologi, legenda atau cerita rakyat di seluruh dunia dengan narasi serupa: air yang meluap--baik itu karena hujan maupun keluar dari tanah, banjir berkepanjangan, dan orang-orang yang selamat.
Dalam kepercayaan Hindu, ada Raja Manu yang diperintahkan untuk membuat kapal oleh Dewa Wisnu, berisi tujuh orang bijak, dan semua hewan serta tumbuhan. Setelah surut, mereka yang selamat harus membangun kembali peradaban.
Di Tiongkok, banjir besar terjadi bukan karena motif heroik dalam legenda Gun-Yu. Banjir yang sangat luas terjadi, bahkan membanjiri lembah Sungai Kuning dan Yangtze.
Banjir pun dikontrol oleh Yu dengan bendungan dan tanggul atau, menurut versi lain, dengan bantuan naga dan seekor kura-kura. Setelah air bah berhasil dikontrol, Yu menjadi kaisar pertama untuk mendirikan Dinasti Xia.
Indonesia, punya banyak. Legenda ular raksasa Naga Pandoha, cerita tentang awal kependudukan manusia Bumi, menurut mitologi Batak, salah satunya. Awalnya, bumi diselimuti air. Selama proses penciptaan daratan, putri Batara Guru bernama Deak Parujar diganggu Naga Padoha. Singkatnya, Batara Guru mengirimkan sebuah gunung agar ia selamat. Deak Parujar adalah leluhur manusia pada awal masa penciptaan bumi.
Jauh di belahan bumi lain, Aztek punya mitologi tentang Tata dan Nena yang memotong pohon cemara. Keduanya mendapatkan peringatan akan datangnya banjir oleh Tlaloc (dewa hujan). Banjir datang karena orang-orang di Bumi menjadi jahat dan berhenti menyembah dewa. Keduanya selamat menjadi awal mula leluhur manusia di dunia era baru.
Cerita bisa jadi serupa, tetapi peristiwa mungkin berbeda
Mengapa cerita berhubungan dengan bumi dipenuhi air tanpa daratan, lalu surut, dimiliki banyak kebudayan peradaban? Banyak ahli dari bidang keilimuan, termasuk antropolog dan arkeolog mencari jawaban ini.
Antropolog University of Chicago William Lessa (1908-1997) lewat makalah tahun 1956 di The Journal of American Folklore berjudul "Oedipus-Type Tales in Oceania" memiliki pandangan tentang cerita-cerita rakyat. Ada banyak cerita mirip legenda di Yunani yang ternyata tersebar sepanjang Eropa, Timur Dekat, Timur Tengah, Asia Tenggara, hingga kepulauan di Pasitifk.
Namun, cerita serupa Yunani tidak ditemukan di Asia Tengah dan timur laut, Afrika, Australia, dan Amerika. Hal ini menunjukkan kurangnya transmisi budaya pada wilayah-wilayah tersebut.
Jurnalis sejarah dan budaya Tim Brinkhof di Big Think cenderung menjelaskan, mitologi terkait banjir besar tidak saling bersangkut-paut. Misalnya, Yu yang menangani banjir dengan mengontrolnya, berbeda dengan kapal atau serupa kapal di Hindu dan Timur Tengah.
"Karena mitos banjir bah di India dan Mesoamerika yang disebutkan mirip dengan rekan mereka di Mesopotamia hanya sejauh melibatkan dewa, perahu, dan hujan deras, dikatakan bahwa mereka berkembang secara independen satu sama lain," tulis Brinkhof.
Bisa jadi, kisah-kisah yang secara unsur ceritanya mirip sekalipun, didasarkan perstiwa bersejarah yang serupa, tetapi terjadi di tempat yang terpisah.
Kenangan zaman es terakhir?
Cerita banjir besar mungkin terkait dengan kenangan manusia pada akhir masa glasial maksimal atau zaman es terakhir. Pendapat ini sangat umum. Sebuh penelusuran di Discover Magazine tahun 2012 mengungkapkan secara nyata antara legenda seperti Nuh di seluruh dunia, dengan jejak geologis banjir pada masa penghujung zaman es.
Suhu yang menghangat membuat es di kutub mencair, meningkatkan tinggi muka laut berkali-kali lipat. Beberapa areal yang sempat dihidupi oleh manusia pun tenggelam sekitar 11.000 tahun yang lalu (8000 SM).
Antropolog University of Oxford Stephen Oppenheimer juga berpendapat demikian lewat buku "Eden in The East: Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara". Mitos atau legenda tentang banjir besar, terutama di Indonesia dan Polinesia, adalah riwayat dari mereka yang selamat saat bermigrasi di zaman es terakhir.
Akan tetapi, para ahli lain punya pandangan berbeda akan cerita yang mirip. Bencana banjir bisa terjadi di mana saja, dan belum tentu peristiwa banjir besar yang disebabkan berakhirnya zaman es terakhir.
Baca Juga: Menelisik Lewat Sains Rupa Kepulauan Asia Tenggara di Masa Purba
Baca Juga: Apakah Bahtera Nabi Nuh yang Disebut Kitab Suci Bakal Ditemukan?
Baca Juga: Inilah Gilgamesh, Raja Mesopotamia Kuno Mencari Keabadian Hidup
Baca Juga: Ragam Cerita Legenda dari Danau di Indonesia yang Turun-Temurun
Carl Jung (1875-1961), seorang psikoanalisis Swiss, mengungkapkan, gagasan sebagian besar tentang mitos sebagai metafora untuk menjelaskan fenomena yang terjadi. Manusia sudah dari dulu memiliki gagasan tentang tuhan dalam pikirannya, sehingga digambarkan pada fenomena alam yang terjadi di sekitar mereka lewat cerita, legenda, dan mitos.
"Apa pun yang psikis membawa kondisi internalnya sendiri, sehingga orang dapat menegaskan dengan hak yang sama mitos itu murni psikologis dan menggunakan peristiwa meteorologi atau astronomi hanya sebagai alat ekspresi," tulis Jung di dalam bukunya "Psychology of the Unconscious".
"Keanehan dan absurditas banyak mitos primitif sering membuat yang terakhir penjelasan tampaknya jauh lebih tepat daripada yang lain.”
Source | : | Big Think,JSTOR,Discover Magazine,Britannica |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR