Nationalgeographic.co.id—Sepanjang tahun 2010 hingga 2019, total impor kaki katak oleh Uni Eropa berjumlah 40,7 juta kilogram. Berat ini setara dengan jumlah sekitar 2 miliar katak.
Belgia adalah importir utama kaki katak tersebut. Adapun Prancis adalah konsumen utamanya.
Fakta-fakta ini informasi yang didapat bagian dari studi baru, yang telah diterbitkan di jurnal Nature Conservation pada 8 Februari 2023.
Studi ini yang menemukan "ketidakstabilan yang tidak dapat dijelaskan" dalam perdagangan kaki katak dan ketergantungan yang ekstrem Uni Eropa pada negara-negara lain untuk memenuhi permintaannya.
Penulis utama studi ini adalah Mark Auliya, peneliti dari Leibniz Institute for the Analysis of Biodiversity Change di Bonn, Jerman. Dalam makalah studinya, Auliya menguraikan berbagai ketidakpastian yang mendasari perdagangan katak ini.
"Perdagangan internasional kaki katak adalah kotak hitam, apakah itu kurangnya data perdagangan spesifik spesies, yang akan diperlukan untuk memastikan keberlanjutan, atau kesalahan pelabelan skala besar dalam perdagangan dan tantangan untuk mengidentifikasi spesies terkait dengan kaki katak yang diproses, dikuliti, dan dibekukan."
Katak memiliki peran sentral dalam ekosistem sebagai pemangsa serangga. Saat katak menghilang, penggunaan pestisida beracun meningkat.
Oleh karena itu, perdagangan kaki katak memiliki konsekuensi langsung tidak hanya bagi katak itu sendiri, tetapi juga bagi keanekaragaman hayati dan kesehatan ekosistem secara keseluruhan. Sejauh mana residu pestisida di kaki katak yang diperdagangkan secara internasional masih belum jelas.
Pada 1970-an dan 1980-an, India dan Bangladesh adalah pemasok utama kaki katak ke Eropa. Namun ketika populasi katak liar mereka anjlok, kedua negara itu melarang ekspor. Sejak saat itu, Indonesia mengambil alih sebagai pemasok terbesar.
Di Indonesia, seperti sekarang juga di Turki dan Albania, spesies katak berkaki besar semakin berkurang di alam liar, satu demi satu. Hal ini menyebabkan efek domino yang fatal bagi konservasi spesies. Hal ini semakin mengancam populasi katak di negara-negara pemasok.
“Uni Eropa sejauh ini merupakan importir kaki katak terbesar di dunia, dan spesies berkaki besar seperti katak rumput pemakan kepiting (Fejervarya cancrivora), katak Jawa raksasa (Limnonectes macrodon) dan katak Asia Timur (Hopobatracchus rugulosus) merupakan permintaan khusus di antara para pecinta kuliner di Eropa," kata Sandra Altherr.
Altherr adalah rekan penulis dalam studi ini. Dia adalah seorang ahli biologi dan pakar perdagangan satwa liar dari badan amal Pro Wildlife yang berbasis di Jerman.
Sekilas, peternakan katak komersial, seperti yang dioperasikan di Vietnam, mungkin tampak sebagai alternatif yang dapat mengurangi tekanan dari populasi katak liar. Namun pemasokan ulang peternakan katak secara terus-menerus dengan spesies asli dari alam liar dan, spesies non-asli menimbulkan banyak risiko.
Baca Juga: Dunia Hewan: Spesies Baru Katak Lord of the Rings Ditemukan di Ekuador
Baca Juga: Dunia Hewan: Kodok Raksasa Toadzila Ditemukan Rangers di Australia
Baca Juga: Dunia Hewan: Darahnya Merah, Bagaimana Katak Kaca Menjadi Transparan?
Katak-katak itu bisa melarikan diri, menginvasi, dan jadi agen penyebaran penyakit. Ini merupakan merupakan deretan risiko serius bagi lingkungan.
Pemanenan populasi dan spesies katak liar yang diproduksi di peternakan katak komersial untuk tujuan konsumsi juga mengesampingkan tindakan pengendalian penyakit dan kebersihan. Selain itu, perdagangan lintas batas spesies untuk konsumsi telah menyebabkan polusi genetik dan hibridisasi antarspesies.
“Selama penelitian ini, menjadi jelas betapa sulitnya untuk mendapatkan data konkret tentang perdagangan internasional kaki katak saat ini. Secara khusus, data yang relevan tersebar di berbagai basis data yang tidak terhubung,” tulis para peneliti dalam makalah mereka.
Selama peninjauan mereka, tim peneliti tidak dapat menemukan data yang diterbitkan apakah residu pestisida dan zat beracun lainnya dalam (olahan) katak atau kaki katak yang diimpor ke Uni Eropa telah terpantau.
“Hal ini sendiri mengejutkan dan mengingat situasi di negara-negara pengekspor dan kurangnya transparansi dan manajemen dalam penerapan bahan kimia pertanian dan obat hewan dalam peternakan komersial, kami sangat menyarankan agar pemantauan ini menjadi tugas mendesak di masa mendatang untuk negara-negara pengimpor," tulis mereka.
“Kompleksitas masalah yang mendasari perdagangan kaki katak bukanlah item kebijakan prioritas untuk Uni Eropa,” simpul para peneliti, seperti dikutip dari Pensoft Publishers.
Mereka menambahkan bahwa daftar spesies katak yang paling terpengaruh di bawah Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Fauna dan Flora Liar Terancam Punah (CITES), akan membantu memantau perdagangan dan memastikan keberlanjutannya. Mereka menegaskan bahwa Uni Eropa sebagai pengimpor terbesar katak harus memimpin pemantauan ini.
Source | : | Pensoft |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR