Nationalgeographic.co.id—Perubahan iklim membuat gelombang panas di dunia lebih sering terjadi. Hari ini, negara-negara di Asia mengalaminya dan mencatat berbagai rekor suhu tertinggi yang belum pernah ada sebelumnya.
Gelombang panas dan suhu tinggi ekstrem punya dampak buruk bagi kehidupan manusia. Selain kesehatan, dampaknya memengaruhi infrastruktur vital di suatu negara yang punya efek domino pada perekonomian.
Para peneliti dalam jurnal Nature Communications memaparkan bahwa panas ekstrem terjadi di beberapa kawasan dunia. Akan tetapi, banyak negara di dunia yang justru belum siap untuk mengambil langkah penanggulangan gelombang panas. Sehingga, negara-negara ini pada akhirnya menjadi yang paling terdampak buruk.
"Karena gelombang panas semakin sering terjadi, kita perlu lebih siap," kata Vikki Thompson, penulis utama makalah bertajuk "The most at-risk regions in the world for high-impact heatwaves" itu. Dia adalah peneliti dari School of Geographical Sciences, University of Bristol.
"Kami mengidentifikasi wilayah yang mungkin beruntung sejauh ini—beberapa di antaranya wilayah ini memiliki populasi yang berkembang pesat, beberapa adalah negara berkembang, dan beberapa sudah sangat panas. Kita perlu bertanya, apakah rencana aksi panas untuk wilayah ini sudah cukup?" lanjutnya, dikutip dari Phys.
Negara-negara seperti Afganistan, Papua Nugini, dan Amerika Tengah berada pada titik berbahaya.
Pasalnya, negara-negara ini belum pernah mengalami panas ekstrem sebelumnya. Ditambah lagi dengan kerentanan sosial ekonomi yang membuatnya sebagai negara yang akan buruk terimbas dari panas ekstrem.
Negara yang belum pernah mengalami panas ekstrem akan mengambil langkah adaptasi baru, seiring dengan gelombangnya yang kian intens.
Akan tetapi, langkah adaptasi ini baru diambil ketika terpapar, bukan sebelum untuk mengantisipasi.
Pada akhirnya, suhu tinggi ekstrem yang memecahkan rekor di masing-masing negara, berdampak pada pertumbuhan populasi, perawatan, dan ketersediaan energi, terang para peneliti.
Yang lebih mengkhawatirkan, terang para peneliti, adalah kota dengan padat penduduk. Para peneliti melaporkan Beijing dan kota-kota di Eropa Tengah berada di daftar titik panas.
Jika gelombang panas memecahkan rekor ini terjadi di tempat penduduk, jutaan orang akan sangat terdampak.
Bahkan, berdasarkan kabar sebelumnya, suhu di Tiongkok telah melebihi 35 derajat celsius di beberapa provinsi.
Laporan ini telah memecahkan rekor suhu tinggi bulanan mereka. Selusin provinsi mereka telah menembus rekor panas ini.
Indonesia juga sebagai kawasan padat penduduk mungkin akan sangat terdampak. Dalam laporan sebelumnya, Indonesia saat ini juga menghadapi panas ekstrem seperti negara-negara tetangganya di Asia Tenggara seperti Thailand, Laos, dan Myanmar.
Suhu panas ini akan terus berlangsung menghantui musim kemarau tahun ini, mengingat siklus El Nino kembali hadir.
Para peneliti mejuga mengingatkan bahwa secara statistik ekstrem, rekor suhu tinggi terpecahkan seharusnya tidak mungkin bisa terjadi. Mengingat lokasi dampaknya bisa di mana saja di seluruh dunia. Kondisi ini mereka sebut sebagai "tidak masuk akal".
Peristiwa gelombang panas ekstrem melanda sepertiga atau 31 persen wilayah yang dinilai cukup andal untuk menghadapinya.
Sebelumnya beberapa tempat seperti Amerika Utara bagian barat sanggup menghadapi gelombang panas ekstrem tahun 1959 dan 2021, tetapi menjadi rentan dengan peristiwa hari ini.
Baca Juga: Besarnya Efek Riak dari 'Gelombang Panas Terburuk dalam Sejarah Asia'
Baca Juga: Tahun Panas Bagi Indonesia: Gelombang Panas Ekstrem Asia dan El Nino
Baca Juga: Dampak Perubahan Iklim, Gelombang Panas Menghantam Dasar Lautan
Baca Juga: Es Laut Akan Segera Menghilang dari Kutub Utara Selama Musim Panas
Oleh karena itu, para peneliti menyerukan persiapan besar menghadapi suhu tinggi ekstrem yang merugikan umat manusia ini.
Apalagi, jumlah, intensitas, dan durasi gelombang panas disebabkan oleh perubahan iklim akibat aktivitas manusia.
Potensi perubahan iklim bisa menyebabkan ribuan kematian berlebih secara global dalam kasus gelombang panas.
Masyarakat mungkin belum siap menghadapi iklim ekstrem, tetapi pemangku kebijakan bisa memprioritaskan mitigasi di wialayh yang paling rentan, saran para peneliti.
Perlu ada kesadaran dan pengakuan sebagai dasar untuk mengambil kebijakan mitigas ini.
Para peneliti memberi contoh, bagaimana University of Bristol menjadi unviersitas pertama di Inggris yang mendeklarasikan darurat iklim.
"Menjadi siap menyelamatkan nyawa," kata Dan Mitchell, profesor ilmu atmosfer di School of Geographical Sciences, University of Bristol.
"Kami telah melihat beberapa gelombang panas yang paling tidak terduga di seluruh dunia menyebabkan kematian terkait panas di puluhan ribu. Dalam penelitian ini, kami menunjukkan bahwa peristiwa yang memecahkan rekor seperti itu dapat terjadi di mana saja. Pemerintah di seluruh dunia perlu bersiap," lanjutnya.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR