Nationalgeographic.co.id—Lebih dari 3 juta kilometer persegi rentang habitat bersejarah gajah Asia telah hilang hanya dalam tiga abad. Temuan ini didasarkan pada sebuah laporan baru dunia hewan dari tim ilmiah internasional yang dipimpin oleh peneliti University of California San Diego. Penurunan dramatis ini mungkin mendasari konflik saat ini antara gajah dan manusia, menurut mereka.
Para peneliti mengembangkan wawasan baru dari kumpulan data unik dalam model perubahan penggunaan lahan selama 13 abad. Tim peneliti dipimpin oleh anggota fakultas baru UC San Diego Shermin de Silva. Mereka menemukan bahwa habitat yang cocok untuk gajah Asia telah berkurang hampir dua pertiganya dalam 300 tahun terakhir.
Hewan darat terbesar yang masih hidup di Asia, gajah Asia yang terancam punah menghuni padang rumput dan ekosistem hutan hujan yang pernah membentang luasnya benua.
Menganalisis data penggunaan lahan dari tahun 850 hingga 2015, para peneliti menjelaskan hasilnya dalam jurnal Scientific Reports yang terbit 27 April 2023 dengan tajuk “Land-use change is associated with multi-century loss of elephant ecosystems in Asia.”
Dalam jurnal tersebut menyatakan situasi yang meresahkan di mana mereka memperkirakan bahwa lebih dari 64 persen habitat gajah bersejarah yang cocok di seluruh Asia telah hilang.
Sementara habitat gajah tetap relatif stabil sebelum tahun 1700-an, praktik penggunaan lahan era kolonial di Asia, termasuk ekstraksi kayu, dan pertanian, memotong rata-rata ukuran petak habitat lebih dari 80 persen, dari 99.000 menjadi 16.000 kilometer persegi.
Studi tersebut juga menunjukkan bahwa populasi gajah yang tersisa saat ini mungkin tidak memiliki wilayah habitat yang memadai.
Sementara 100 persen area dalam jarak 100 kilometer dari jangkauan gajah saat ini dianggap sebagai habitat yang cocok pada 1700, proporsinya telah menurun menjadi kurang dari 50 persen pada 2015.
Hal ini menimbulkan potensi konflik yang tinggi dengan orang-orang yang tinggal di daerah tersebut karena populasi gajah mengubah perilakunya dan menyesuaikan diri dengan ruang yang lebih didominasi manusia.
"Pada tahun 1600-an dan 1700-an ada bukti perubahan dramatis dalam penggunaan lahan, tidak hanya di Asia, tetapi secara global," kata de Silva, asisten profesor di Departemen Ekologi, Perilaku, dan Evolusi Sekolah Ilmu Biologi, dan pendiri dari nirlaba Trunks & Leaves. "Di seluruh dunia kita melihat transformasi yang sangat dramatis yang memiliki konsekuensi yang bertahan hingga hari ini."
Juga berkontribusi dalam penelitian ini adalah para peneliti dari seluruh dunia, termasuk Smithsonian's National Zoo and Conservation Biology Institute, University of Nottingham Malaysia, Frankfurt Zoological Society, Vietnam National University of Forestry, Wild Earth Allies, Zoological Society of London dan Colby College.
“Studi ini memiliki implikasi penting bagi pemahaman kita tentang sejarah bentang alam gajah di Asia dan meletakkan dasar untuk pemahaman yang lebih baik dan memodelkan potensi bentang alam gajah di masa depan juga,” kata Philip Nyhus, Profesor Studi Lingkungan di Colby College dan salah satu rekan penulis studi.
Selain Nyhus, tiga mahasiswa sarjana Colby juga berkontribusi dalam penelitian ini. "Ini adalah upaya kolaboratif dan multi-lembaga," tambah Nyhus, "dan saya bangga bahwa siswa Colby berkontribusi secara signifikan terhadap model dan analisis yang digunakan dalam penelitian ini."
Di luar dampak langsung terhadap gajah Asia, penelitian ini menawarkan hasilnya sebagai mekanisme untuk menilai praktik penggunaan lahan dan strategi konservasi yang sangat dibutuhkan oleh semua penghuni kawasan tersebut.
“Kami menggunakan gajah sebagai indikator untuk melihat dampak perubahan tata guna lahan pada ekosistem yang beragam ini dalam skala waktu yang lebih lama,” kata de Silva.
Dampak manusia yang mengarah pada pengurangan kisaran habitat beberapa spesies mamalia darat telah didokumentasikan dengan baik di masa lalu.
Baca Juga: Melarang Penggunaan Plastik Sekali Pakai demi Menyelamatkan Gajah
Baca Juga: Misteri Gajah yang Digunakan Hannibal Barca untuk Melawan Romawi
Baca Juga: Menyelisik Sejarah Sirkus, dari Zaman Romawi Kuno hingga Modern
Baca Juga: Dunia Hewan: Gajah Tidak Pernah Kawin dengan Saudara Kandungnya
Perubahan iklim juga diperkirakan telah mempercepat penurunan ini selama satu abad terakhir. Tetapi menilai dampak dari perubahan semacam itu pada satwa liar dalam jangka panjang sulit dipelajari karena kurangnya catatan sejarah.
"Kami menggunakan lokasi saat ini di mana kami tahu ada gajah, bersama dengan fitur lingkungan yang sesuai berdasarkan kumpulan data LUH (Land-Use Harmonization), untuk menyimpulkan di mana habitat serupa pernah ada di masa lalu," kata de Silva. “Untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan berkelanjutan, kita harus memahami sejarah bagaimana kita sampai di sini. Studi ini adalah salah satu langkah menuju pemahaman itu.”
Kumpulan data memberikan rekonstruksi historis dari berbagai jenis penggunaan lahan - termasuk hutan, tanaman, padang rumput, dan jenis lainnya - yang berasal dari abad kesembilan.
Tim peneliti mencatat bahwa rentang sejarah gajah kemungkinan telah meluas jauh melampaui kawasan lindung, yang ukurannya tidak cukup untuk mendukung populasi gajah di Asia.
Mereka termasuk tanah di bawah sistem manajemen tradisional yang diubah dalam tiga abad terakhir. Hilangnya praktik tradisional ini, menurut penulis, mungkin menjadi alasan utama di balik hilangnya habitat.
Source | : | Phys.org |
Penulis | : | Wawan Setiawan |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR