Dalam upaya pertama bangsa Eropa untuk mendapatkan pos perdagangan di Cina dengan paksa, orang-orang Portugis malah dikalahkan oleh Cina Ming pada Pertempuran Tunmen di Tamão atau Tuen Mun pada tahun 1521.
Pada pertempuran itu, diperkirakan bahwa bangsa Portugis kehilangan 2 kapal. Selanjutnya, berlanjut pada Pertempuran Sincouwaan di Pulau Lantau, mereka kembali kehilangan 2 kapalnya.
Dalam sejarah Tiongkok, folangji tak kenal menyerah demi mendapatkan pos dagang secara paksa di Cina. Mereka rela melalui perang demi perang dengan Dinasti Ming yang tengah berkuasa di Tiongkok.
Shuangyu yang jadi pelabuhan primadona dan diincar folangji, tetap tak dapat direbut. Ming terlalu kuat untuk ditaklukan Portugis. Alih-alih berjaya, pada tahun 1548 beberapa orang Portugis ditangkap.
Pengejaran folangji berlanjut hingga mereka tertangkap di dekat Semenanjung Dongshan pada tahun 1549, di mana dua kapal jung Portugis dan Galeote Pereira berhasil dikuasai Ming. Ming tampil sebagai pemenang dalam catatan sejarah Tiongkok.
Selama pertempuran ini, orang Ming merebut senjata dari Portugis yang kalah yang kemudian mereka rekayasa ulang dan diproduksi secara massal di Tiongkok seperti senapan korek api, serta senapan arquebus.
Selain arquebus sebagai senapan burung, istilah folangji dalam konteks ini juga mengacu pada senjata Portugis berupa meriam.
Kuasa Portugis atas Makau dalam Catatan Sejarah Tiongkok
Pada tahun 1554, upaya diplomatis folangji dengan Cina terus berlanjut. Portugis berupaya keras menggurat lembar baru dalam sejarah Tiongkok.
Leonel de Sousa membuat perjanjian dengan pejabat Guangzhou untuk melegalkan perdagangan Portugis, dengan syarat membayar bea cukai tertentu. Perjanjian ini berbuntut pada pengakuan Makau sebagai gudang resmi Portugis pada tahun 1557.
Leonel de Sousa menjadi Kapten-Mayor kedua Makau pada tahun 1558 (setara dengan Gubernur Makau yang kemudian). Makau adalah salah satu dari 4 wilayah administrasi Tiongkok.
Source | : | The Atlantic |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR