Nationalgeographic.co.id—Saat ini, kendaraan listrik atau Electric Vehicle (EV) dianggap sebagai kendaraan masa depan dan solusi mitigasi perubahan iklim. Tapi alih-alih mitigasi perubahan iklim, malag mungkin bisa merusak lingkungan.
Seperti diketahui, kendaraan listrik digerakan oleh perangkat elektronik dengan sumber energi gera yang berasal dari baterai. Dan di sinilah masalahnya.
Untuk membuat baterai kendaraan listrik, beberapa perusahaan mulai menyasar laut dalam. Penambangan sumber daya untuk baterai ini akan mengancam dan merusak lingkungan.
Untuk mitigasi perubahan iklim, dunia memang harus memangkas produksi karbon dari bahan bakar fosil yang umum digunakan kendaraan konvesional. Kendaraan listrik memang bisa menjadi solusi untuk masa depan bebas karbon.
Akan tetapi, untuk membuat baterai yang cukup untuk menggerakkan kendaraan listrik, akan membutuhkan peningkatan besar-besaran dalam pasokan mineral kita seperti Nikel, tembaga, kobalt, dan mangan.
Negara-negara berebut untuk menambang bahan berharga ini dari bumi. Mereka menggali di mana-mana mulai dari hutan hujan di Republik Demokratik Kongo hingga Indonesia.
Namun upaya tersebut terkendala oleh masalah lingkungan dan hak asasi manusia. Jadi beberapa perusahaan mengalihkan pandangan mereka ke tempat lain, yaitu dasar laut.
Bermil-mil di bawah permukaan laut, miliaran bongkahan batu yang sarat dengan mangan, nikel, kobalt, tembaga, dan mineral berharga lainnya berjejer di dasar laut. Di beberapa daerah, kobalt juga terkonsentrasi di kerak logam tebal yang mengapit pegunungan bawah air.
Beberapa perusahaan dan negara bersiap untuk memanen apa yang disebut nodul polimetalik laut dalam ini dan mengekstrak harta karun di dalamnya.
Saat ini, penambangan dasar laut di perairan internasional secara hukum keruh, dan perusahaan belum memulai operasi eksploitasi komersial.
Tetapi negara-negara delegasi Otoritas Dasar Laut Internasional (ISA) - badan antar pemerintah yang didukung PBB - saat ini bertemu di Kingston, Jamaika, selama dua minggu (10 Juli hingga 28 Juli).
Pertemuan itu untuk mengembangkan peraturan yang dapat membuka jalan bagi penambangan semacam itu. Praktik ini mungkin memiliki konsekuensi serius bagi lautan dunia, kata para ahli kepada Live Science.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR