Novelis abad ke-2 SM, Dionysios Skytobrachion, menempatkannya di suatu tempat di Libya, tempat Herodotus mengatakan bahwa orang Berber menciptakan cerita dan gambarnya sebagai bagian dari agama mereka.
Tentu saja, bangsa Romawi juga mengadopsi Medusa sebagai bagian dari mitologi mereka.
Dalam karya Ovid, Metamorphoses, dari abad pertama Masehi, sosok Medusa digambarkan sebagai Gorgon menakutkan. Ia memiliki rambut yang seperti ular dan dapat mengubah siapa pun yang melihatnya menjadi batu.
Menariknya, seperti Sphinx, Scylla, dan Charybdis dalam mitologi Yunani, Medusa akhirnya bertemu penciptanya di tangan seorang pahlawan laki-laki.
Tampaknya menimbulkan pertanyaan mengapa semua monster perempuan dalam mitologi Yunani dibunuh oleh laki-laki.
Perseus entah bagaimana berhasil menaklukkan Medusa hanya dengan bantuan beberapa alat ajaib. Ia menggunakan sandal bersayap dari Hermes, topi tembus pandang dari Hades (dewa dunia bawah) dan perisai seperti cermin milik Athena, dewi kebijaksanaan dan perang.
Beberapa orang percaya bahwa semua Gorgon, trio betina bersayap dengan rambut ular berbisa, adalah keturunan Gaia, personifikasi Bumi itu sendiri. Siapa pun yang melihat langsung sosok wanita kuat ini akan berubah menjadi batu.
Medusa mungkin mencerminkan ketakutan yang dimiliki laki-laki, dan sejujurnya masih sering terjadi atau terjebak dalam suatu hubungan karena ketertarikan perempuan yang tak tertahankan.
Medusa digambarkan sebagai sosok yang tampak cantik dan sangat jelek. Namun, dari ketiganya, Medusa adalah satu-satunya Gorgon yang fana.
Dalam versi penyair Romawi Ovid, Medusa dulunya adalah seorang gadis cantik. Namun, setelah Poseidon, dewa laut memperkosanya di kuil Athena, sang dewi berusaha membalas dendam atas tindakan pencemaran nama baik yang keji.
Menurut penyair laki-laki tersebut, dalam tindakan kekejaman yang tidak dapat dijelaskan, dewi Athena sendiri mengubah korban Poseidon menjadi monster yang mengerikan.
Source | : | Greek Reporter |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR