Dalam wawancara dengan masyarakat desa, para peneliti mengungkapkan bahwa 40 persen di antara mereka sepakat untuk membiarkan orangutan di hutan. Sisanya, menganggap orangutan adalah hama yang harus dibasmi.
"Kami menemukan bahwa pembunuhan tampaknya masih terjadi dan banyak di antaranya terjadi dalam lima tahun sebelumnya. Saya terkejut melihat 30% desa mempunyai bukti pembunuhan dalam lima hingga 10 tahun terakhir,” kata Massingham, dikutip dari The Guardian.
Ada lebih dari 1 miliar dolar AS yang digunakan sebagai upaya konservasi orangutan oleh berbagai lembaga konservasi yang tersebar di Indonesia dan Malaysia. Meski pendanaan yang sangat besar, penurunan terus terjadi akibat pembunuhan orangutan oleh masyarakat setempat, sehingga penelitian ini menjadi pertimbangan dalam upaya konservasi, terang para peneliti.
"Proyek [konservasi] yang ada tampaknya tidak efektif dalam mengurangi pembunuhan orangutan. Setidaknya, temuan kami, ditambah dengan penurunan populasi orangutan yang terus berlanjut, menunjukkan bahwa proyek-proyek tersebut tidak berjalan cukup cepat," terang Massingham dan tim dalam makalah.
"Pendekatan baru harus disesuaikan dengan konteks sosial-ekologis setempat."
Lebih lanjutnya, para peneliti menawarkan untuk keterlibatan masyarakat setempat dalam upaya konservasi. Selain itu, proyek konservasi harus punya upaya memahami berbagai potensi yang melatarbelakangi pembunuhan orangutan, termasuk pencurian di perkebunan dan perdagangan satwa liar karena keinginan dipelihara secara pribadi.
"Temuan kami menunjukkan bahwa jika kita ingin mencegah kepunahan mereka, kita harus mengatasi dua penyebab utama penurunan populasi orangutan—hilangnya hutan dan pembunuhan—secara bersama-sama, dengan sumber daya dan energi yang tepat sasaran dan strategis, serta dalam sistem sosial-ekologis yang ada," pungkas tim.
Source | : | The Guardian,University of Queensland |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR