Nationalgeographic.co.id—Meskipun kampanye dan upaya perlindungan orangutan berlangsung, ancaman kepunahannya sangat nyata. Kematian orangutan di Pulau Kalimantan terus meningkat, salah satu penyebabnya karena dibunuh secara ilegal.
Sebuah penelitian terbaru mengungkapkan bahwa pembunuhan terhadap orangutan masih cukup tinggi selama lima hingga 10 tahun terakhir. Masyarakat Indonesia, bahkan di desa yang dekat dengan habitat orangutan, mengetahui bahwa membunuh satwa tersebut adalah ilegal dan tabu. Namun, pembunuhan orangutan masih terus dilakukan.
Dalam penelitian tersebut, para peneliti mewawancarai 431 penduduk desa di Kalimantan bagian Indonesia selama lebih dari satu dekade. Mereka mendapati kabar bahwa pembunuhan orangutan secara langsung dilakukan oleh setidaknya satu orang di 30 persen dari 79 desa yang disurvei.
“Tujuan dari proyek kami adalah untuk memahami apakah orangutan telah dibunuh dalam beberapa waktu terakhir, untuk melihat apakah proyek konservasi efektif mencegah pembunuhan, dan untuk mendapatkan wawasan mengenai persepsi masyarakat dan motivasi di baliknya," jelas peneliti pertama studi Emily Massingham, kandidat Ph.D. di Faculty of Science University of Queensland.
“Sudah hampir 15 tahun berlalu sejak penelitian sebelumnya, dan kami tidak menemukan penurunan yang jelas dalam jumlah pembunuhan meskipun ada upaya terpuji dari Indonesia untuk mengurangi hilangnya habitat," lanjutnya, dikutip dari laman University of Queensland.
Penelitian tersebut dipublikasikan di jurnal Conservation Science and Practice pada 10 Oktober 2023. Makalah penelitian tim tersebut bertajuk "Killing of orangutans in Kalimantan - Community perspectives on incidence and drivers".
Ternyata, pembunuhan orangutan oleh masyarakat punya berbagai alasan dan sangat kompleks. Masyarakat mungkin membunuh karena takut sehingga harus membela diri, atau serangan karena orangutan menyerang kebun atau tanaman.
Orangutan yang masuk ke dalam perkebunan, setelah dibunuh terkadang diambil daging dan bagian tubuhnya. Peneliti berpendapat, pembukaan lahan untuk perkebunan, termasuk produksi kelapa sawit, mendorong habitat orangutan tergerus dan semakin dekat dengan pemukiman masyarakat.
Para peneliti juga menemukan alasan selain membela diri. Masyarakat membunuh induk orangutan agar bisa menangkap bayinya. Induk orangutan bisa sangat beringas ketika anak atau bayinya diganggu.
Masyarakat menangkap bayi orangutan untuk dijual dalam perdagangan satwa liar. Biasanya, orangutan yang diperdagangkan menjadi peliharaan jauh dari habitatnya, atau untuk dilatih untuk ragam atraksi menarik demi mendulang keuntungan.
“Wawancara kami mengungkapkan beberapa situasi yang mengarah pada pembunuhan atau pemindahan individu orangutan,” terang Massingham. "Hal ini termasuk melindungi tanaman dan mengambil bayi kera untuk dijadikan hewan peliharaan."
Dalam wawancara dengan masyarakat desa, para peneliti mengungkapkan bahwa 40 persen di antara mereka sepakat untuk membiarkan orangutan di hutan. Sisanya, menganggap orangutan adalah hama yang harus dibasmi.
"Kami menemukan bahwa pembunuhan tampaknya masih terjadi dan banyak di antaranya terjadi dalam lima tahun sebelumnya. Saya terkejut melihat 30% desa mempunyai bukti pembunuhan dalam lima hingga 10 tahun terakhir,” kata Massingham, dikutip dari The Guardian.
Ada lebih dari 1 miliar dolar AS yang digunakan sebagai upaya konservasi orangutan oleh berbagai lembaga konservasi yang tersebar di Indonesia dan Malaysia. Meski pendanaan yang sangat besar, penurunan terus terjadi akibat pembunuhan orangutan oleh masyarakat setempat, sehingga penelitian ini menjadi pertimbangan dalam upaya konservasi, terang para peneliti.
"Proyek [konservasi] yang ada tampaknya tidak efektif dalam mengurangi pembunuhan orangutan. Setidaknya, temuan kami, ditambah dengan penurunan populasi orangutan yang terus berlanjut, menunjukkan bahwa proyek-proyek tersebut tidak berjalan cukup cepat," terang Massingham dan tim dalam makalah.
"Pendekatan baru harus disesuaikan dengan konteks sosial-ekologis setempat."
Lebih lanjutnya, para peneliti menawarkan untuk keterlibatan masyarakat setempat dalam upaya konservasi. Selain itu, proyek konservasi harus punya upaya memahami berbagai potensi yang melatarbelakangi pembunuhan orangutan, termasuk pencurian di perkebunan dan perdagangan satwa liar karena keinginan dipelihara secara pribadi.
"Temuan kami menunjukkan bahwa jika kita ingin mencegah kepunahan mereka, kita harus mengatasi dua penyebab utama penurunan populasi orangutan—hilangnya hutan dan pembunuhan—secara bersama-sama, dengan sumber daya dan energi yang tepat sasaran dan strategis, serta dalam sistem sosial-ekologis yang ada," pungkas tim.
Source | : | The Guardian,University of Queensland |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR