"Menari bagi saya seperti berdoa, mengagungkan nama Tuhan," ujar Retno Maruti dalam menghayati tari.
Retno lahir pada 8 Maret 1947 di Solo, Jawa Tengah, dalam lingkungan yang akrab dengan kesenian. Ayahnya, Soesilo Atmadjo, merupakan seorang dalang wayang dan ibunya, Siti Marsinam, adalah seorang penata rias dan pembatik.
Berada di lingkungan keluarga seniman Baluwarti kompleks Keraton Surakarta, membuat anak ke-2 dari 7 bersaudara ini mengenal seni tari dan gamelan tradisi Jawa sejak usia 5 tahun. Retno kemudian mengasah kemampuannya menari dan menembang klasik Jawa dari para maestro di zaman itu, seperti Laksminto Rukmi (penari kraton), Koesoema Kesawa, Nyai Bei Mardusari, R. Ay. Sukorini, Basuki Kusworogo, dan Sutarman.
Saat SMP, Retno terpilih menjadi penari kijang kencana dalam pentas Sendratari Ramayana di Candi Prambanan selama kurang lebih 9 tahun (1961-1968). "Sendratari Prambanan itulah sekolah tari saya,” ujar Retno.
Pengalamannya mengikuti sendratari Ramayana Prambanan itu sangat membantu Retno ketika ia mengelola pertunjukan dan memimpin Padnecwara, sanggar tari yang didirikannya sejak 1976 bersama Arcadius Sentot Sudiharto teman sesama penari yang juga suaminya.
Sejak tahun 1960-an Retno mulai menari di luar negeri, antara lain di World Fair New York 1964 selama 8 bulan dan terpilih sebagai salah satu penari misi kepresidenan ke Jepang. Ketika kembali ke Indonesia, Retno pun mulai membuat karya tari pertamanya, Langendriyan Damarwulan, pada 1969, sampai yang terakhir Kidung Dandaka pada 2016.
Tak hanya mampu menampilkan seni tradisi Jawa klasik dengan suatu kedalaman rasa yang kreatif, Retno juga berhasil melahirkan banyak seniman dan penari klasik muda berbakat. Berbagai penghargaan ia terima. Salah satunya penghargaan dari Akademi Jakarta tahun 2005 untuk pencapaian dan pengabdian di bidang kesenian/humaniora.
Berkesenian tari Jawa ini mampu menembus batas-batas perbedaan, baik suku, agama, kedudukan, maupun status ekonomi. Di masa sekarang, banyak orang belajar menari untuk mendapat keseimbangan jiwa. "Bagi saya, menari seperti berdoa, mengagungkan Tuhan," ujar nenek 1 cucu yang masih tampak anggun itu.
Di usia 76 tahun, Retno masih tetap berkarya sekalipun kini gerak kakinya sudah sangat terbatas dan lebih banyak berada di belakang panggung. Seperti awal Oktober lalu Retno baru saja mementaskan kembali Sendratari Roro Mendut (karya yang dibuat tahun 1977) di NAFA Lee Foundation Theatre, Singapura.
Retno bahagia karena saat itu semua keluarganya, termasuk Kanya sang cucu, juga ikut terlibat. Retno berharap,"Semoga makin banyak yang meneruskan tari Jawa Tradisi ini. Dimulai dari Rury, anak saya dan Kanya, cucu saya.”
Baginya, menari bukan hanya menghapal gerak dan teori. Melainkan juga belajar mengendalikan diri, bergotong royong, saling menghargai, toleransi sekaligus nilai-nilai budi pekerti yang tidak diperoleh di bangku sekolah.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR