5. Sukarno sang pencinta dan pelestari seni tari Nusantara
"Aku bersyukur kepada Yang Maha Kuasa, karena aku dilahirkan dengan perasaan halus dan darah seni.” Itulah kalimat pembuka Sukarno dalam autobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Sukarno mengakui bahwa cara termudah untuk menggambarkan dirinya adalah dengan menyebut dirinya "Maha Pencinta"; pencinta segala bentuk keindahan dan seni.
Dia sosok pemimpin negeri ini yang tangguh dan visioner serta memiliki renjana dan cita rasa seni yang tinggi. Terlihat dari ribuan koleksi lukisannya yang kini sebagian dipajang di istana negara.
Putra dari pasangan Ida Ayu Nyoman Rai dan Raden Soekemi Sosrodihardjo ini sudah menunjukkan minatnya di bidang seni sejak di bangku SMP dengan menjadi pemain teater. Bahkan di masa pembuangannya di Ende, Sukarno banyak menulis naskah cerita, menjadi sutradara, dan mengelola pementasan teater.
Sebagai pemimpin bangsa dan seorang arsitek, Sukarno terlibat dalam merancang dan menata ibu kota Jakarta dengan sentuhan seni arsitektur yang tinggi. Mulai dari Gelora Senayan, Gedung MPR/DPR, Monas, dan Masjid Istiqlal yang merupakan masjid terbesar se-Asia Tenggara dan terbesar ke-9 di dunia.
Sukarno pula yang memprakarsai karya seni patung dipajang di ruang publik dan menjadi ikon Jakarta hingga saat ini. Sebut saja Patung Selamat Datang, Patung Pancoran, Tugu Tani, dan Patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng
Khusus untuk seni tari, ia mengembangkan ragam tari tradisi Nusantara dari sisi estetika seni petunjukan yang menarik untuk disuguhkan sebagai jamuan kenegaraan. Contohnya, ia menjadikan Tari Pendet sebagai tari pembuka dalam acara resmi menyambut tamu negara.
Putra sulung Sukarno, Guntur Sukarno Putra, dalam buku berjudul “Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku menulis bahwa Sukarno juga senang menari Lenso dalam acara-acara khusus.
Sukarno tak segan mendobrak pakem untuk mengangkat seni tari tradisi yang lebih merakyat. Misalnya mengusulkan Tari Kecak Bali yang semula ditarikan dalam format baris menjadi lingkaran.
Guruh Sukarno Putra, putra bungsu Sukarno, mengungkapkan pada tahun 1958 atas prakarsa Sukarno, tari Kecak yang biasa hanya ditarikan oleh laki-laki, ditarikan oleh wanita di Stadion Senayan saat pembukaan Asian Games IV tahun 1962.
Berangkat dari inspirasi tersebut pada bulan Juni lalu, Guruh menampilkan kembali tarian kecak yang ditarikan oleh 3.000 penari perempuan di Gelora Bung Karno pada perayaan puncak Bulan Bung Karno dengan judul pertunjukkan "Soekarnoyana".
Begitulah sosok Sukarno yang memaknai karya seni tidak hanya sebagai objek, tetapi juga sebagai representasi budaya bangsa. Atas dasar inilah CHI mempersembahkan penghargaan khusus CHI Awards 2023 “Amerta Askara Budaya" (Cahaya Budaya Abadi) kepada almarhum Sukarno.
Pengharagaan untuk mengenang Bapak Pendiri Bangsa sekaligus presiden pertama RI yang telah membangun jati diri bangsa dan menjadi cahaya yang menerangi pertumbuhan seni budaya Nusantara.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR