Nationalgeographic.co.id - Sejarah dunia telah mencatat banyak sekali perang atau pertarungan antara dua pihak atau lebih. Namun bagi beberapa orang, pertarungan hanyalah tawar-menawar melalui kekerasan.
Inilah yang dimaksud oleh pemimpin Komunis Tiongkok Mao Tse-tung pada tahun 1938 ketika dia berkata, “Politik adalah perang tanpa pertumpahan darah, sedangkan perang adalah politik dengan pertumpahan darah.”
Mao senada dengan jenderal Prusia Carl von Clausewitz yang, satu abad sebelumnya, mengingatkan kita bahwa perang adalah kelanjutan politik dengan cara lain.
Tentu saja, salah satu cara ini jauh lebih mahal dibandingkan cara lainnya. Dua musuh mempunyai pilihan sederhana: membagi wilayah yang diperebutkan atau mempertaruhkan sesuai dengan kekuatan relatif mereka, atau berperang dan berjudi demi sisa-sisa yang menyusut dan rusak.
Hampir selalu lebih baik mencari kompromi. Untuk setiap perang yang pernah terjadi, ribuan perang lainnya telah dapat dicegah melalui diskusi dan konsesi.
Christopher Blattman, profesor di University of Chicago Harris School of Public Policy, pernah menulis di laman Modern War Institute bahwa kompromi adalah aturannya. Sebab, sebagian besar kelompok berperilaku strategis: seperti pemain poker atau catur, mereka berusaha keras untuk berpikir ke depan, memahami kekuatan dan rencana lawan, dan memilih tindakan berdasarkan prediksi pergerakan lawan mereka.
Mereka membuat kesalahan atau kekurangan informasi. Namun mereka mempunyai dorongan yang besar untuk melakukan yang terbaik.
Ini adalah cara penting untuk berpikir tentang peperangan: bukan sebagai suatu dorongan dasar atau keniscayaan, melainkan sebagai kegagalan yang tidak biasa dan tidak disengaja dari dorongan yang sangat kuat bagi perdamaian.
Ada sesuatu yang mengganggu dorongan normal untuk berkompromi, mendorong lawan dari politik normal, terpolarisasi dan kontroversial, ke tawar-menawar melalui pertumpahan darah.
Hal ini memberikan kita perspektif baru mengenai perang. "Jika perkelahian jarang terjadi karena bersifat merusak, maka jawaban mengapa kita berperang adalah sederhana: masyarakat atau para pemimpinnya mengabaikan dampak yang ditimbulkan (atau bersedia membayarnya)," tulis Blattman.
"Dan meskipun ada alasan di balik setiap perang, dan setiap perang memiliki alasan, ada banyak cara logis yang bisa dilakukan masyarakat untuk mengabaikan dampak perang—ada lima, tepatnya," lanjutnya.
"Dari perang geng hingga kekerasan etnis, dan dari konflik sipil hingga perang dunia, ada lima alasan yang sama yang mendasari konflik di setiap tingkatan: perang terjadi ketika suatu masyarakat atau pemimpinnya tidak dapat dipertanggungjawabkan, bersifat ideologis, tidak pasti, bias, atau tidak dapat diandalkan.
Source | : | Modern War Institute |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR