Nationalgeographic.co.id—Wabah Justinian pada abad keenam Masehi adalah "wabah penyakit yang menyebabkan seluruh umat manusia nyaris dimusnahkan," menurut sejarawan Bizantium, Procopius.
Setengah populasi Kekaisaran Romawi dan puluhan juta orang di sekitar Mediterania diperkirakan telah terbunuh dalam pandemi yang sekarang diketahui sebagai wabah pes tersebut.
Penyakit ini biasanya dimulai dengan demam, diikuti dengan pembengkakan di selangkangan dan ketiak, kemudian koma atau mengigau, lalu kematian.
Tampaknya tidak ada yang bisa menolong: "pada penyakit ini tidak ada penyebab yang masuk dalam wilayah nalar manusia," tulis Procopius.
Namun, dalam sebuah studi bertajuk “Climate change, society, and pandemic disease in Roman Italy between 200 BCE and 600 CE”, terbitan 26 Januari 2024 di Science Advances, mengaitkan pandemi di Kekaisaran Romawi dengan perubahan iklim.
Penelitian ini, yang merupakan hasil dari upaya selama 10 tahun, menunjukkan dampak mengerikan perubahan iklim pada masyarakat yang tidak cukup kuat menghadapi gejolak yang ditimbulkannya, kata para penulis studi.
Hasil rekayasa ulang menunjukkan bahwa periode yang lebih dingin–memiliki suhu rata-rata tiga derajat Celcius lebih rendah daripada suhu tertinggi pada abad-abad sebelumnya–bertepatan dengan laporan-laporan Romawi mengenai pandemi besar.
Beberapa pandemi yang pernah terjadi dalam periode tersebut diantaranya; Wabah Antonine, dari sekitar tahun 165 hingga 180 Masehi; Wabah Siprus, dari sekitar tahun 215 hingga 266 Masehi; dan sebuah pandemi yang dimulai dengan Wabah Yustinianus, dari sekitar tahun 541 hingga 549 Masehi, dan pada akhirnya berlangsung hingga tahun 766 Masehi.
Rekan penulis studi ini adalah Kyle Harper, seorang sejarawan di University of Oklahoma, mengatakan bahwa pandemi tidak secara langsung berasal dari penurunan suhu, tetapi tampaknya disebabkan oleh gangguan yang disebabkan oleh perubahan iklim dalam masyarakat Romawi.
Gangguan-gangguan ini termasuk menurunnya pasokan makanan dan meningkatnya jumlah tikus, nyamuk, dan hama lainnya.
"Bukan berarti pendinginan itu buruk," katanya. "Namun, ketika Anda mengalami perubahan iklim yang cepat, hal ini sangat mengganggu kestabilan, menggeser ekosistem, dan mengganggu kestabilan masyarakat."
Baca Juga: Mahkota Berdarah Kaisar Romawi, Kerap Mati di Tangan Pembunuh Bayaran
Penyebab dari perubahan iklim ini kemungkinan akibat dari serangkaian letusan gunung berapi yang besar. Namun, penyebab hawa dingin yang terjadi bersamaan dengan Wabah Antonine dan Wabah Siprus belum diketahui.
Kehancuran Kekaisaran Romawi: Perubahan Iklim dan Wabah
Sebelumnya, melalui bukunya “The Fate of Rome: Climate, Disease, and the End of an Empire”, Kyle Harper telah mengatakan bahwa iklim memiliki peran besar dalam kebangkitan dan kejatuhan peradaban Kekaisaran Romawi.
Harper berpendapat bahwa peradaban Romawi sangat diuntungkan oleh kondisi iklim yang hangat, basah, dan stabil pada awal pembentukannya, yang mendukung produktivitas agraris dan pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini memperkuat struktur politik dan sosial kekaisaran, memungkinkan mereka untuk mengendalikan wilayah yang luas dengan lebih efektif.
Perubahan iklim yang kurang mendukung membuat pertanian dan ekonomi sulit dipertahankan, sehingga memperlemah daya tahan kekaisaran terhadap ancaman eksternal.
“ ... iklim yang kurang mendukung justru melemahkan kekuatannya tepat ketika kekaisaran itu diserang oleh musuh-musuh yang lebih berbahaya …” kata Harper.
Sementara perubahan iklim telah merongrong kekuatan Kekaisaran Romawi, bencana yang lebih besar turut memperparah keadaan: wabah penyakit. Gangguan pada lingkungan biologis bahkan lebih berdampak pada nasib Roma.
Kekaisaran Romawi yang sangat urban dan sangat saling terhubung merupakan anugerah bagi mikroba penghuninya.
Meskipun berhasil bangkit kembali atas serang wabah yang terjadi berkali-kali, Kekaisaran Romawi tidak pernah mendapatkan kembali dominasinya yang sebelumnya.
Yang paling dramatis, pada abad ke-6, kekaisaran yang sedang bangkit yang dipimpin oleh Justinian menghadapi pandemi wabah pes, sebuah awal dari Maut Hitam pada abad pertengahan. Jumlah korbannya sulit untuk diperkirakan–mungkin setengah dari populasi yang ada tewas.
Dari perspektif Harper, kombinasi antara perubahan iklim dan penyakit menekankan betapa besar pengaruh faktor-faktor lingkungan terhadap nasib suatu peradaban. Meskipun manusia dapat mengubah alam dan ekosistem untuk sementara waktu, alam memiliki dinamika tersendiri yang tidak dapat sepenuhnya dikendalikan.
“Manusia membentuk alam–terutama, kondisi ekologi di mana evolusi berlangsung. Namun alam tetap buta terhadap niat kita, dan organisme serta ekosistem lain tidak mematuhi aturan kita. Perubahan iklim dan evolusi penyakit telah menjadi kartu liar dalam sejarah manusia,” ungkap Harper.
Bangsa Romawi mungkin telah mengira bahwa mereka berada di atas angin atas kekuatan lingkungan alam yang berubah-ubah dan ganas. Sejarah memperingatkan kita: mereka salah.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Ade S |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR