Nationalgeographic.co.id—Sebuah foto mengguncang dunia pada tahun 1993. Dalam bingkai lensa Kevin Carter, seorang anak tampak lemah lunglai di tengah padang pasir yang tandus, dengan seekor burung nasar mengawasinya.
Foto ini menjadi simbol penderitaan kemanusiaan dan memenangkan penghargaan Pulitzer.
Namun, di balik keindahan estetika foto tersebut, tersimpan kisah pilu yang menggema dalam sejarah dunia. Siapa sebenarnya anak dalam foto itu? Apa yang terjadi padanya setelah lensa kamera tertuju padanya?
Artikel ini akan mengungkap misteri di balik foto ikonik yang telah menginspirasi dan mengundang kontroversi selama bertahun-tahun.
Bayangan kematian di Sudan
Sudan, tahun 1993. Negeri yang tengah bergulat dengan kelaparan parah menjadi saksi bisu penderitaan manusia. Di tengah kepiluan itu, seorang fotografer Afrika Selatan bernama Kevin Carter hadir. Dengan lensa kameranya, ia berusaha mengabadikan realitas pahit yang tengah terjadi.
Salah satu hasil jepretannya, sebuah foto yang kemudian dikenal sebagai "The Vulture and the Little Girl", tak hanya mengguncang dunia, tetapi juga mengubah hidupnya selamanya.
Ketika foto itu dimuat di halaman depan The New York Times, dunia seakan terbelah. "Di satu sisi, foto tersebut menjadi cerminan nyata dari krisis kemanusiaan yang terjadi di Sudan. Namun, di sisi lain, foto itu juga memicu kontroversi besar," ungkap Austin Harvey di laman All That's Interesting.
Banyak yang mengkritik Carter karena dianggap tidak berperasaan. Mereka bertanya-tanya, mengapa Carter tidak berusaha membantu anak kecil yang tampak sekarat dalam fotonya?
Hanya segelintir orang yang mengetahui cerita di balik foto tersebut. Carter, ditemani oleh tentara Sudan yang bersenjata lengkap, sebenarnya dibatasi dalam tindakannya.
Ia hanya bisa menyaksikan penderitaan yang terjadi di hadapannya, termasuk momen ketika seorang anak kecil yang kurus kering merangkak menuju pusat pemberian makan sambil diintai oleh seekor burung nasar.
Baca Juga: Apa Pun Tantangan Penyuntingan Foto? Perangkat Apple Meringkas Solusinya
Beberapa hari setelah foto itu menjadi viral, The New York Times menambahkan catatan editor. Catatan itu menjelaskan bahwa burung nasar dalam foto itu akhirnya pergi dan anak kecil tersebut berhasil melanjutkan perjalanannya.
Namun, bagi Carter, pengalaman ini meninggalkan bekas luka yang mendalam. Meskipun fotonya meraih penghargaan Pulitzer, ia tidak pernah benar-benar pulih dari trauma yang dialaminya di Sudan.
Kevin Carter: Mata yang menyaksikan kekejaman
Di jantung Afrika Selatan yang bergejolak akibat apartheid, seorang pemuda bernama Kevin Carter tumbuh dengan menyaksikan ketidakadilan. Besar di lingkungan yang terisolasi dan penuh privilese, Carter dipaksa membuka mata lebar-lebar ketika menyaksikan realitas pahit di luar pagar pembatas ras.
Razia-razia polisi yang brutal, pengusiran paksa, dan perlakuan tidak manusiawi terhadap warga kulit hitam menjadi pemandangan sehari-hari yang menorehkan luka mendalam di hatinya.
Upaya untuk menghindari konfrontasi langsung dengan sistem apartheid yang represif, Carter memilih bergabung dengan Angkatan Udara. Namun, pelariannya itu tak membawanya ke tempat yang lebih aman. Di sana, ia kembali berhadapan dengan rasisme yang merajalela.
Insiden pemukulan terhadap seorang pelayan kantin kulit hitam yang ia bela menjadi titik balik dalam hidupnya. Carter menyadari bahwa ia tak bisa lagi menutup mata terhadap ketidakadilan.
Sebuah peristiwa mengubah hidupnya selamanya: pemboman Church Street di Pretoria. "Ledakan dahsyat itu mengguncang jiwanya dan membulatkan tekadnya untuk menjadi seorang jurnalis foto," papar Harvey.
Dengan kamera di tangan, Carter siap mendokumentasikan kekejaman apartheid dan menyuarakan penderitaan mereka yang tertindas.
Bersama rekan-rekannya, ia bergabung dalam kelompok yang dikenal sebagai "Bang-Bang Club", sebuah komunitas fotografer berani yang tak gentar menghadapi bahaya demi mengabadikan kebenaran.
Sudan, tahun 1993. Negeri yang dilanda kelaparan parah menjadi saksi bisu penderitaan jutaan jiwa. Di tengah kepiluan itu, Kevin Carter hadir dengan lensa kameranya. Di sana, ia mengambil sebuah foto yang akan mengubah sejarah fotografi dan mengguncang hati jutaan orang di seluruh dunia.
Baca Juga: Mengulik Konsep dan Teknik Fotografi Menggunakan iPhone di Bali
Neraka di Sudan
Dalam buku "The Bang-Bang Club: Snapshots from a Hidden War", penulis Joāo Silva dan Greg Marinovich, rekan Kevin Carter dalam Bang-Bang Club, menjelaskan bahwa tugas khusus Carter di Sudan memberikan beban berat pada jurnalis foto yang telah menangkap begitu banyak gambar memilukan sepanjang kariernya.
Awalnya, Rob Hadley dari Operasi Lifeline Sudan PBB meminta Silva untuk mengunjungi Sudan dan mendokumentasikan kelaparan yang sedang terjadi pada tahun 1993. Kemudian, Silva mengajak Carter untuk ikut dalam perjalanan itu.
Tujuan utama kunjungan mereka adalah untuk mengabadikan krisis kemanusiaan yang terjadi di tengah perang saudara dan ketidakstabilan politik. Mereka juga berharap dapat membantu Operasi Lifeline Sudan mendapatkan lebih banyak dana dengan menunjukkan secara nyata kehancuran akibat kelaparan tersebut kepada dunia.
Silva dan Carter memang pergi ke Sudan bersama, tetapi mereka berpisah setelah tiba di sana. Mereka menghabiskan hari-hari berkeliling desa-desa dan mengambil foto penduduk Sudan yang kelaparan, sesekali bertemu untuk berbagi keterkejutan dan kepiluan atas apa yang mereka saksikan.
"Kamu tidak akan percaya apa yang baru saja saya ambil!" kata Carter kepada Silva sebelum mereka meninggalkan negara itu. "Saya sedang memotret seorang anak perempuan berlutut, lalu mengubah sudut pandang, dan tiba-tiba ada burung nasar tepat di belakangnya."
Saat itu, Carter belum menyadari bahwa ia baru saja menangkap gambar yang akan menjadi salah satu foto paling berpengaruh—dan kontroversial—dalam seluruh sejarah jurnalistik foto.
Kontroversi foto "The Vulture and The Little Girl"
Pada tanggal 26 Maret 1993, The New York Times menerbitkan foto Kevin Carter berjudul "The Vulture and The Little Girl". Gambar tersebut disertai dengan keterangan yang menghantui:
"Seorang gadis kecil, melemah karena kelaparan, baru-baru ini jatuh pingsan di sepanjang jalan menuju pusat pemberian makan di Ayod. Di dekatnya, seekor burung nasar menunggu."
Hampir seketika, pembaca The New York Times mulai mengirimkan surat, menanyakan apa yang terjadi pada anak itu setelah foto diambil.
Baca Juga: Cara Hasilkan Foto Berkisah Lewat Ponsel Pintar seperti iPhone
Untung dan sial bagi Carter, foto tersebut beresonansi dengan publik. Pembaca The New York Times terpukul oleh gambar tersebut, khawatir dengan kesejahteraan anak-anak yang kelaparan di Sudan, dan marah karena Carter, sang fotografer, meluangkan waktu untuk memfokuskan lensa dan membingkai gambar ketika dia bisa, menurut mereka, membantu anak tersebut.
Tentu saja, kebanyakan orang tidak menyadari bahwa Carter dan rekan-rekan jurnalis fotonya ditemani oleh tentara bersenjata yang bertugas khusus untuk mencegah mereka mengganggu adegan mengerikan apa pun di depan mereka.
Tetap saja, pembaca marah mengetahui bahwa Carter bahkan tidak tinggal untuk mencari tahu apa yang terjadi pada anak itu—dan dia tidak yakin apakah korban kelaparan itu pernah mencapai pusat pemberian makan.
Terlepas dari kontroversi yang meluas, Carter memenangkan Pulitzer Prize untuk foto tersebut pada tahun 1994 dan ia secara luas diakui karena mengungkapkan penderitaan rakyat Sudan kepada dunia. Namun, ia meninggal karena bunuh diri pada tahun yang sama, tampaknya dihantui oleh kengerian yang telah disaksikannya di negara itu.
"Sementara itu, nasib anak itu tetap menjadi misteri hingga tahun 2011," ujar Harvey.
Nasib Pilu Kong Nyong
Pada tahun 2011, para wartawan dari surat kabar Spanyol, El Mundo, melakukan perjalanan ke Sudan dengan misi menemukan anak yang menjadi subjek foto tersebut.
Meskipun mereka tidak berhasil menemukan Kong Nyong, mereka berhasil melacak ayahnya. Ayah Kong Nyong mengungkapkan fakta mengejutkan bahwa "gadis kecil" dalam foto itu sebenarnya adalah seorang anak laki-laki.
Lebih mengejutkan lagi, ia menceritakan bahwa Kong Nyong berhasil selamat dari kelaparan dan mencapai pusat bantuan makanan pada hari ia difoto.
Namun, nasib baik itu tidak berlanjut. Kong Nyong meninggal dunia pada tahun 2007 akibat penyakit yang tidak diketahui. Kepergiannya yang tragis menambah lapisan kesedihan pada kisah foto yang telah menyentuh hati jutaan orang di seluruh dunia.
Pada akhirnya, baik Kong Nyong maupun Kevin Carter diabadikan selamanya melalui foto "The Vulture and the Little Girl".
"Meskipun gambar tersebut membuat Carter banyak dikritik, foto itu tetap menjadi salah satu contoh paling melegenda dalam foto jurnalistik, dengan dua simbol—burung nasar dan Nyong—dengan sempurna menggambarkan penderitaan Sudan selama kelaparan, serta keadaan politik yang bergejolak di sekitarnya," pungkas Harvey.
Foto Kevin Carter telah mengabadikan momen memilukan dalam sejarah dunia. Kisah anak dalam foto tersebut mengingatkan kita akan pentingnya mendokumentasikan peristiwa kemanusiaan, namun juga mengundang perenungan mendalam tentang batas-batas etika dalam jurnalisme.
KOMENTAR