"Misalnya, Rivai juga menerbitkan surat kabar Pewarta Wolanda. Tujuan dari terbitan berbahasa Melayu ini, yang diterbitkan di Amsterdam dan didistribusikan di Hindia Belanda untuk mencoba mengurangi pengaruh Turki di kalangan banyak kaum muslim di Hindia Belanda," papar Frial.
"Dimaksudkan untuk didistribusikan di kalangan penguasa Indonesia, pegawai negeri, dan kelas atas, Pewarta Wolanda akan meyakinkan orang tua untuk mengirim anak-anak mereka ke Belanda dan bukan ke Istanbul untuk pendidikan mereka."
"Jika kita merujuk pada Anderson, kita akan menemukan argumennya bahwa Belanda lebih memilih mendukung priyayi atau bangsawan pribumi, bukan kelas terdidik muslim, sebagai agen modernitas. Sementara itu, Laffan juga menunjukkan bahwa priyayi dan budaya lokal memainkan peran penting dalam mengatasi pengaruh gerakan Islam di Indonesia," pungkasnya.
Seperti Hurgronje, K.F. Holle, seorang Belanda di Indonesia, memainkan peran penting dalam 'menjajah Islam'. Dia mengabdikan hidupnya untuk mempelajari bahasa Sunda dan mengampanyekan pengembangan aksara Sunda.
Proyek terakhirnya ini merupakan upaya untuk menggantikan aksara Arab yang banyak digunakan, yang dia khawatirkan memungkinkan orang Sunda tertarik pada radikalisme agama asing dan berbahaya yang berasal dari Timur Tengah.
Bangsawan atau priyayi didukung oleh Belanda untuk mengatasi pengaruh Pan-Islamisme di Indonesia melalui kelompok Hadhrami, karena kelompok Hadhrami adalah agen modernisasi berbasis Pan-Islamisme.
Namun, sejarawan lain seperti Laffan ragu-ragu mengenai peran Hadhrami dalam membawa Pan-Islamisme bagi orang Indonesia, melihat Pan-Islamisme sebagai agenda 'Arab'. Dia mengatakan bahwa hanya di Hijaz orang Jawa langsung bertemu dengan aparat pemerintahan Ottoman, yang tidak terawat dengan baik maupun efisien.
Meski begitu, meningkatnya jumlah orang Jawa di Hijaz dapat menggabungkan retorika Pan-Islamik dengan aspirasi mereka sendiri untuk Hindia. Namun, kita harus menyelidiki kembali pendapat Laffan, karena dalam dokumennya, negara Ottoman menyebut kelompok Hadhrami sebagai 'Cavah' daripada Arab atau Hadhrami.
Dalam bahasa Turki, 'Cavah' berarti 'orang Jawa'. Tanpa diragukan lagi, mereka ingin menyebut mereka Jawi, menyebut siswa Hadhrami yang datang ke Istanbul sebagai 'Cavah'.
Negara Ottoman juga menyebut Aceh sebagai bagian dari 'Cava' ketika Sultan Mansyur Syah meminta kewarganegaraan (vatandaslık) dari negara Ottoman.
Dengan demikian, Ottoman sudah menganggap bahwa Hadhrami dan Muslim pribumi di Asia Tenggara tidak berbeda karena mereka adalah Muslim. Dalam arsip Ottoman, orang Indonesia terlepas dari daerah atau penguasa mereka disebut ahali-Islamiye (Komunitas Islam).
Baca Juga: Saat Kelompok Utusan Ottoman Dianggap 'Hama' di Hindia Belanda
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR