Nationalgeographic.co.id—Bayangkan sebuah desa di pedesaan Afrika, di mana asap mengepul dari cerobong asap rumah-rumah penduduk setiap hari.
Kini, desa tersebut telah berubah. Kompor-kompor modern telah menggantikan tungku tradisional, mengurangi emisi karbon dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Kisah inspiratif ini hanyalah satu dari sekian banyak contoh bagaimana proyek kompor masak mengubah lanskap energi di Afrika.
Artikel ini akan mengajak Anda untuk menyelami lebih dalam cerita-cerita di balik transformasi ini.
Sistem perdagangan karbon yang meningkat di Afrika
Pertemuan Tingkat Tinggi International Energy Agency (IEA) di Paris pada Mei 2024 telah menyoroti potensi besar pasar karbon dalam mendorong adopsi kompor masak ramah lingkungan di seluruh benuka Afrika.
Dengan fokus utama pada pendanaan, pasar karbon kini dipandang sebagai solusi yang menjanjikan untuk memperluas inisiatif-inisiatif berkelanjutan di benua tersebut.
Pasar karbon kini dianggap sebagai kendaraan utama untuk mendorong transisi ini, dengan janji menyediakan pendanaan yang diperlukan untuk adopsi masak ramah lingkungan secara luas.
Jika sebelumnya, dalam Clean Development Mechanism (CDM) yang dikelola oleh PBB—sebuah sistem perdagangan karbon yang sudah hampir berakhir—proyek-proyek dari Afrika hanya menyumbang 3% dari total proyek, kini situasinya sangat berbeda.
Menurut sebuah laporan terbaru dari Centre for Science and Environment (CSE), seperlima dari semua proyek yang terdaftar di pasar karbon sukarela saat ini berasal dari Afrika. Ini artinya, benua Afrika telah berhasil menarik minat yang signifikan dari para investor dan perusahaan yang ingin mengurangi jejak karbon mereka.
Pasar karbon sukarela menawarkan kredit karbon yang diperoleh dari proyek-proyek yang telah disertifikasi oleh lembaga swasta seperti Verra dan Gold Standard.
Baca Juga: 'Tebus Dosa Karbon', Kompas.com Tanam 5.000 Bibit Mangrove di Subang
Di Afrika, proyek-proyek ini umumnya berfokus pada pelestarian hutan, pengelolaan lahan yang berkelanjutan, serta inisiatif berbasis komunitas seperti penyediaan kompor masak yang lebih efisien.
"Hingga saat ini, hampir 2.000 proyek semacam itu telah atau sedang dalam proses sertifikasi di seluruh benua Afrika," papar Trishant Dev di laman DownToEarth.
Inisiatif kompor masak ramah lingkungan
Program distribusi kompor masak efisien telah menjadi sorotan dalam upaya global untuk mengurangi emisi karbon. Dengan mengganti bahan bakar tradisional seperti kayu bakar dengan teknologi yang lebih bersih, proyek-proyek ini tidak hanya meningkatkan kualitas udara dan kesehatan masyarakat, tetapi juga membuka peluang bisnis yang menarik di pasar karbon.
Kompor-kompor inovatif ini, yang umumnya dibanderol dengan harga terjangkau atau bahkan gratis, dirancang untuk mengkonsumsi bahan bakar lebih sedikit.
Pengurangan emisi yang dihasilkan dari setiap kompor kemudian dikonversi menjadi kredit karbon. Kredit ini merupakan semacam mata uang lingkungan yang dapat diperdagangkan, memungkinkan perusahaan untuk membeli dan menetralisir emisi mereka sendiri.
Setiap kompor, dengan harga yang bervariasi antara $2 hingga $20 (setara Rp31 ribu hingga Rp310 ribu), mampu mengurangi emisi karbon sebesar 2-4 ton per tahun.
Selama masa pakainya yang diperkirakan 5-7 tahun, sebuah kompor dapat menghasilkan hingga 28 kredit karbon. Mengingat harga pasar kredit karbon saat ini berkisar antara $7-10 (setara Rp108 ribu hingga Rp155 ribu) per kredit, potensi pendapatan dari setiap kompor bisa mencapai $70 hingga $280 (setara Rp1 juta hingga Rp4,3 juta).
Angka-angka ini menunjukkan bahwa bisnis kompor masak ramah lingkungan adalah sebuah investasi yang sangat menguntungkan. Dengan permintaan kredit karbon yang terus meningkat, proyek-proyek semacam ini tidak hanya memberikan dampak positif bagi lingkungan, tetapi juga membuka peluang bisnis yang luas.
Hingga awal tahun 2024, proyek-proyek kompor masak ramah lingkungan di seluruh Afrika telah menghasilkan lebih dari 86 juta kredit karbon. Jumlah ini setara dengan lebih dari tiga kali total emisi karbon tahunan Kenya.
"Negara-negara seperti Uganda, Rwanda, dan Kenya menjadi pelopor dalam inisiatif ini," jelas Dev.
Baca Juga: Lahan Gambut Makin Menyempit, Paru-paru Asia Tenggara Kian Terjepit
Investasi karbon dalam memasak
Seiring maraknya investasi dalam proyek karbon yang menjanjikan keuntungan finansial, penting bagi kita untuk menguji klaim mereka secara mendalam. Apakah proyek-proyek ini benar-benar membawa perubahan signifikan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, atau hanya sebatas janji belaka?
Sebuah studi terbaru yang dilakukan oleh Down To Earth dan CSE di India telah mengungkap sejumlah masalah serius dalam desain dan pelaksanaan proyek karbon untuk memasak ramah lingkungan.
Studi ini menggarisbawahi kelemahan mendasar dalam perhitungan pengurangan emisi gas rumah kaca yang dilakukan oleh proyek-proyek tersebut.
Salah satu masalah utama adalah asumsi yang terlalu sederhana mengenai kebiasaan memasak masyarakat. Banyak proyek berasumsi bahwa masyarakat yang menjadi target hanya bergantung pada bahan bakar tradisional yang tidak ramah lingkungan, seperti kayu bakar, tanpa mempertimbangkan kemungkinan mereka sudah menggunakan metode memasak yang lebih bersih.
Selain itu, proyek-proyek ini seringkali mengasumsikan bahwa masyarakat akan secara eksklusif menggunakan kompor baru yang diberikan, padahal dalam kenyataannya, sebagian besar rumah tangga menggunakan berbagai jenis bahan bakar untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Akibatnya, perkiraan pengurangan emisi karbon yang dihasilkan oleh proyek-proyek ini cenderung terlalu optimistis.
Masalah transparansi juga menjadi sorotan dalam studi ini. Banyak masyarakat desa menyerahkan hak mereka atas kredit karbon tanpa memahami implikasinya, bahkan ada yang harus membayar untuk mendapatkan kompor baru yang sebenarnya memberikan keuntungan lebih besar bagi pengembang proyek.
Sayangnya, sistem pemantauan yang ada tidak cukup efektif untuk memastikan bahwa manfaat proyek benar-benar dirasakan oleh masyarakat. Para validator independen pun terkesan abai terhadap sejumlah kesalahan dalam pelaksanaan proyek.
Dari sisi manfaat bagi masyarakat, hasil yang diperoleh pun beragam. Beberapa studi menunjukkan bahwa kompor baru yang diberikan tidak selalu nyaman digunakan dan seringkali ditinggalkan begitu saja.
Akibatnya, pengurangan emisi karbon yang diharapkan tidak tercapai secara optimal. Sementara itu, keuntungan finansial yang dihasilkan dari proyek-proyek ini lebih banyak dinikmati oleh pengembang daripada masyarakat setempat.
Baca Juga: Krill, Makhluk Mini yang Sanggup Simpan Karbon Sebanyak Lamun dan Mangrove
Temuan serupa juga dilaporkan dalam sebuah studi yang dilakukan oleh UC Berkeley. Studi ini menunjukkan bahwa perkiraan pengurangan emisi karbon dalam proyek kompor masak seringkali terlalu tinggi, bahkan mencapai sepuluh kali lipat dari nilai sebenarnya.
"Hal ini disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti asumsi yang tidak realistis mengenai penggunaan kompor dan jenis bahan bakar, serta manfaat kesehatan yang tidak tercapai akibat pengurangan polusi udara dalam ruangan," ungkap Dev.
Antara harapan dan keraguan
Sektor kehutanan dan penggunaan lahan di Afrika telah menjadi primadona dalam pasar karbon sukarela global. Melalui inisiatif seperti REDD+, proyek-proyek di benua ini berlomba-lomba menyerap karbon dioksida dengan mengubah cara pengelolaan lahan, mulai dari penanaman kembali hutan (reforestasi) hingga pencegahan penggundulan hutan.
Hingga Agustus 2024, 144 juta kredit karbon telah diterbitkan untuk proyek-proyek semacam ini di seluruh Afrika. Salah satu contoh menonjol adalah inisiatif Kariba REDD+ di Zimbabwe, yang telah menjual jutaan kredit kepada perusahaan-perusahaan besar dunia. Proyek seluas hampir 750.000 hektar ini mengklaim telah berhasil mengurangi emisi karbon secara signifikan.
Namun, sebuah investigasi mendalam mengungkapkan fakta mengejutkan: proyek Kariba REDD+ diduga telah melebih-lebihkan capaiannya dalam menyerap karbon.
Hal ini memunculkan pertanyaan serius tentang akurasi pengukuran dampak lingkungan dari proyek-proyek kehutanan dan integritas kredit karbon yang diperdagangkan.
Di tengah sorotan global terhadap potensi penyerapan karbon di hutan-hutan Afrika, investasi besar terus mengalir. Perusahaan-perusahaan internasional, seperti Blue Carbon (yang berbasis di Uni Emirat Arab), telah menjalin kemitraan dengan sejumlah negara Afrika untuk merehabilitasi dan melindungi jutaan hektar hutan.
Keterlibatan pemerintah
Saat ini, sejumlah negara di Afrika terlihat sudah semakin proaktif dalam mengatur pasar karbon. Salah satu contohnya adalah Kenya, yang pada tahun 2024 telah memberlakukan peraturan baru mengenai perubahan iklim dan pasar karbon.
Peraturan ini mewajibkan setiap proyek yang menghasilkan kredit karbon di wilayahnya untuk mengikuti pedoman yang telah ditetapkan.
Di sisi lain, Ghana juga telah mengembangkan suatu sistem untuk memperdagangkan kredit karbon, yang didasarkan pada kesepakatan internasional yang dikenal sebagai Perjanjian Paris. Sistem ini bertujuan untuk memfasilitasi perdagangan kredit karbon secara lebih terstruktur dan transparan.
Sementara itu, Zimbabwe tengah menggodok peraturan baru yang cukup menarik.
Rancangan peraturan ini mensyaratkan agar para pihak yang terlibat dalam proyek-proyek penghasil karbon mengalokasikan setidaknya 25% dari keuntungan yang diperoleh dari penjualan kredit karbon kepada masyarakat setempat di mana proyek tersebut berada.
"Sisanya, sekitar 30%, akan dialokasikan untuk pemerintah," jelas Dev.
Pasar karbon berbasis Artikel 6 di Afrika
Perjanjian Paris telah melahirkan sebuah mekanisme baru yang menarik perhatian dunia, terutama negara-negara di benua Afrika: pasar karbon Artikel 6. Mekanisme ini memungkinkan negara-negara untuk saling berkolaborasi dalam mencapai target iklim melalui perdagangan emisi.
Bayangkan sebuah sistem di mana negara yang berhasil mengurangi emisi gas rumah kaca dapat menjual "kredit karbon" kepada negara lain yang masih kesulitan mencapai target iklimnya.
Inilah esensi dari pasar karbon Artikel 6. Kredit karbon ini, yang disebut Internationally Transferred Mitigation Outcomes (ITMO), menjadi semacam mata uang hijau yang dapat diperdagangkan di pasar global.
Artikel 6.2 dari perjanjian ini memungkinkan negara-negara untuk secara langsung bernegosiasi dan mentransfer ITMO. Sementara itu, Artikel 6.4 mengatur sebuah sistem yang dikelola oleh PBB untuk sertifikasi proyek-proyek pengurangan emisi. Sistem ini mirip dengan Clean Development Mechanism (CDM) yang pernah ada sebelumnya.
Sejak tahun 2024, minat negara-negara Afrika terhadap pasar karbon ini semakin meningkat. Setidaknya sembilan negara di benua ini telah menandatangani lebih dari dua puluh perjanjian untuk menjadi tuan rumah proyek-proyek Artikel 6.2.
Sebagai contoh, Ghana telah bekerja sama dengan Swiss dalam berbagai proyek, seperti pengembangan sistem irigasi yang lebih efisien dan penyediaan kompor hemat bahan bakar.
Di Malawi, program biogas susu yang didukung oleh Swiss bertujuan untuk menghasilkan ratusan ribu kredit karbon dalam beberapa tahun ke depan. Kredit karbon ini kemudian akan dijual ke Swiss sebagai imbalan atas investasi yang telah dilakukan.
Meskipun pasar karbon Artikel 6 menawarkan harapan baru dalam upaya mengatasi perubahan iklim, namun tetap ada sejumlah tantangan yang perlu diatasi.
Salah satu kekhawatiran utama adalah efektivitas proyek-proyek ini di lapangan. Apakah proyek-proyek ini benar-benar mampu mengurangi emisi secara signifikan dan berkelanjutan? Apakah manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat setempat?
"Wawasan yang kita butuhkan ditemukan di lapangan, tempat proyek-proyek ini berada – dan di sanalah kita harus mencari jawabannya," pungkas Dev.
KOMENTAR