Jadi, pada Dinasti Tang, seorang biksu bernama Hai Tong, memutuskan untuk memahat patung raksasa di tepi sungai. “Harapannya adalah patung itu akan menenangkan para dewa sungai dan menyelamatkan lebih banyak nyawa penduduk setempat,” tambah Hall.
Dengan keyakinan tersebut, Hai Tong memohon selama 20 tahun untuk memperoleh cukup dana guna memulai pekerjaannya.
Menurut legenda, beberapa pejabat pemerintah setempat ingin mendapatkan sejumlah besar uang dari Hai Tong. Hai Tong mengatakan bahwa mereka dapat mengambil bola matanya dan bukan uang untuk pembuatan patung Buddha.
Ketika pendanaan pemerintah untuk proyek tersebut terancam, biksu tersebut konon mencungkil matanya sendiri. Ia ingin menunjukkan ketulusan dan pengabdiannya terhadap tujuan tersebut.
Para pejabat tersebut ketakutan dan Hai Tong menyimpan uang tersebut dan memulai proyek tersebut patung tahun 713 M. Proyek tersebut baru setengah jadi ketika ia meninggal dunia. Dua orang muridnya ditinggalkan untuk melanjutkan pekerjaan tersebut.
Proyek tersebut akhirnya selesai 90 tahun kemudian oleh gubernur setempat pada tahun 803 M.
Begitu banyak batu yang dipindahkan dari permukaan tebing dan dibuang ke sungai di bawahnya selama pembangunan. Hal tersebut menyebabkan arus sungai pun berubah sehingga airnya aman untuk kapal yang lewat.
Patung-patung Buddha berukuran kecil dibangun di sekitarnya
Patung Buddha Leshan kerap ditampilkan dalam puisi, lagu, dan cerita Tiongkok.
Bagi orang Tiongkok kuno, membangun patung dengan ukuran dan perawakan seperti ini merupakan cara untuk berterima kasih kepada dewa-dewa. Bahkan setelah selesai, orang-orang terus memahat Buddha, yang berukuran kecil, di sekeliling patung besar ini.
Baca Juga: Buddha Mengajarkan Kita untuk Bahagia dengan Kekurangan, Bagaimana dengan Krisis Iklim?
Source | : | China Highlights,Ancient Origins |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR