Nationalgeographic.co.id—"Saya itu enggak pernah suka kalau diajak berwisata ke pantai apalagi ke laut."
Demikian kalimat yang sering saya lontarkan ketika ada yang mengajak untuk berwisata ke laut atau bahkan hanya ke pantai.
Sebagai warga Jakarta, saya terbiasa disuguhi air laut yang "butek", ombak yang kencang, udara yang membuat tubuh lengket, dan ramainya suasana pantai, bahkan pada pagi hari. Pun demikian ketika saya mengunjungi beberapa pantai yang ada di pesisir Jawa. Belum saya temui pantai yang bisa membuat saya betah berlama-lama berada di sana.
Maka, tentu saja, tidak aneh jika saya tidak menyambut penugasan ke Belitung pada akhir Oktober lalu dengan antusias. Saya kadung membayangkan sebuah perjalanan yang kelak akan membuat saya uring-uringan.
Namun, faktanya, saya malah harus menjilat ludah saya sendiri gara-gara perjalanan saya ke Negeri Laskar Pelangi tersebut. Bagaimana itu bisa terjadi?
Santap siang di rumah adat, makan malam di hutan lebat
Langit biru nan cerah, yang hampir mustahil ditemui di Jakarta, menyambut saya di Bandar Udara H.A.S. Hanandjoeddin, Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung, Kepulauan Bangka Belitung, Minggu (27/10/2024).
Bersama 20 orang yang sebagian besar merupakan agen perjalanan yang berasal dari 5 negara (Indonesia, Australia, Belanda, Thailand, dan Singapura), saya mengikuti Familiarization Trip Belitung Discovery.
Sebuah acara yang digelar oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung melalui UPTD Balai Pengembangan Pariwisata Wilayah Belitung pada 27-29 Oktober 2024
Rumah adat Belitung yang terletak di Kota Tanjung Pandan menjadi tujuan pertama. Saya dan rombongan disambut dengan alunan musik adat Belitung sembari dipasangi ikat kepala getam (atau getang) oleh beberapa tetua adat di rumah yang terletak di samping rumah dinas Bupati Belitung tersebut.
Selanjutnya, salah satu bagian paling menarik dari perjalanan ini, adalah suguhan santapan melalui tradisi makan bedulang. Tradisi yang dilakukan dengan cara makan bersama dalam satu nampan besar ini menjadi simbol kebersamaan dan saling menghargai antar anggota masyarakat.
Hidangan lengkap dengan berbagai lauk pauk, nasi putih, dan sambal akan disajikan di atas dulang. Menu andalannya adalah gagan, ikan berkuah kuning khas Belitung. Namun, yang paling menarik perhatian saya adalah terong tunjuk. Benar-benar seukuran telunjuk. Mungil.
Ada tata cara khusus dalam tradisi makan bedulang. Misalnya orang tertua yang membuka tudung saji dan yang termuda membagikan piring. Demikian pula dengan penggunaan serbet yang harus digunakan dengan cara tertentu agar bisa dipakai oleh empat orang.
Dulunya, makan bedulang dilakukan sehari-hari, namun kini lebih sering diadakan pada acara-acara khusus seperti pernikahan atau syukuran. Meski begitu, tradisi ini tetap menjadi bagian penting dari budaya Belitung, menyatukan orang-orang dalam suasana hangat dan kekeluargaan.
Rumah adat Belitung, yang biasa disebut dengan rumah panggong juga tak kalah menarik untuk dipelajari. Dengan luas sekitar 500 meter persegi, bangunan ini memiliki keunikan lewat tidak adanya sekat atau kamar, menciptakan suasana yang terbuka dan menyatu dengan alam.
Meski demikian, rumah adat Belitung tetap terbagi ke dalam lima bagian dengan fungsi berbeda. Bagian depan, yang paling tinggi, digunakan untuk menjamu tamu, sementara bagian belakang, yang lebih rendah, ditujukan untuk pembantu. Tata ruang ini mencerminkan hierarki sosial dan kearifan lokal masyarakat Belitung.
Selain itu, hampir seluruh bagian rumah ini terbuat dari bahan alami. Kayu, terutama kayu nyatoh untuk tiang dan kayu ulin untuk lantai, menjadi bahan utama.
Atapnya pun menggunakan kayu seru dan medang, serta daun rumbia dan ijuk. Bahkan, dindingnya pun banyak menggunakan bambu dan kulit kayu. Fondasinya sendiri menggunakan batu granit yang melimpah di daerah Belitung.
Uniknya, ukuran rumah ini tidak menggunakan meteran, melainkan menggunakan dulang, alat penutup makanan khas Belitung.
Selesai bercengkerama di rumah adat, kami langsung menuju Belitung Geopark Information Center yang terletak di Jalan Seroja, Tanjung Pandan. Sebuah tempat yang menggambarkan keindahan sekaligus keajaiban Belitung secara menyeluruh, mulai dari alam hingga budayanya.
Di sinilah saya berkenalan dengan batu satam, si hitam berkilau khas Belitung, yang ternyata punya kisah unik. Menurut Andre yang menjadi pemandu, sekitar 700 ribu tahun lalu, sebuah meteor besar menghantam Bumi, termasuk Indonesia. Ketika meteor ini jatuh di Belitung, yang kaya akan timah, terjadilah reaksi kimia.
Hasilnya? Batu satam yang sekarang sudah sangat terkenal! Sebuah cerita yang kemudian membuat batu satam dianggap sebagai “hadiah” dari langit bagi masyarakat Belitung.
Sebagai informasi, tahun 2021 menjadi tonggak sejarah bagi Belitung. Pulau cantik ini resmi diakui United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sebagai salah satu Geopark Global, bergabung dengan jajaran geopark terbaik dunia.
Keberagaman alam Belitung yang luar biasa membuat UNESCO terpukau. Mulai dari bebatuan unik, lanskap memukau, hingga proses geologis yang langka, semuanya terpadu dalam satu kawasan.
Selain itu, kekayaan budaya dan keanekaragaman hayati yang masih terjaga, seperti ikan toman, tarsius, dan berbagai tanaman obat, semakin memperkuat pesona Belitung.
Dua titik menarik yang akan saya kunjungi keesokan hari, yaitu Tanjung Kelayang dan Bukit Peramun (dengan Tarsius sebagai penghuninya) merupakan bagian dari keelokan Geopark Belitung.
Sengatan matahari belum mengendur ketika saya dan rombongan bergeser menuju Belitong Island Ceramic Art (BICA). Sebuah komunitas yang menghasilkan kerajinan keramik, yang belakangan menjadi salah satu pilihan oleh-oleh dari tanah Belitung.
Komunitas yang mampu membuat hiasan berupa guci, vas bunga, piring, hingga pernak-pernik seperti bros, gelang, serta kalung ini hadir untuk memanfaatkan potensi alam tanah Belitung berupa tanah liat, pasir kuarsa, dan kaolin.
Khusus unsur yang terakhir, sebuah kajian tekno ekonomi yang dipublikasikan oleh Balai Besar Keramik menunjukkan bahwa kaolin Belitung memiliki potensi untuk menekan impor tanah liat dalam produksi papan semen.
Di tempat ini, saya dan para peserta Familiarization Trip Belitung Discovery turut diberi kesempatan untuk melukis gerabah, yang merupakan tahapan awal dalam proses pembuatan keramik.
Sebelum matahari terbenam, rombongan sudah bergeser menuju Desa Perpat. Usai mendapat sambutan hangat dari komunitas lokal yang mengelola agrowisata di wilayah tersebut, kami segera beranjak menuju Gunung Kubing.
Gunung Kubing sendiri menawarkan pengalaman petualangan yang menyegarkan. Dengan ketinggian 325 meter di atas permukaan laut, gunung ini menyuguhkan panorama alam yang memukau. Hutan lebat yang mengelilingi Gunung Kubing menciptakan suasana sejuk dan asri.
Selain menikmati keindahan alam, menurut warga pengelola, pengunjung juga dapat merasakan kesegaran air terjun dan pemandian alami yang jernih. Sambil berendam, pengunjung dapat bersantai menikmati pemandangan lembah dan perbukitan yang menenangkan.
Salah satu daya tarik yang belakangan dipromosikan oleh pengelola wisata Gunung Kubing adalah keberadaan lutung yang disebut-sebut memiliki rambut berwarna putih. Penduduk lokal sering menyebut mereka “lutung putih” atau “hanoman”.
Sayang, meski kami sudah mencoba menunggu selama hampir satu jam di tengah hutan Gunung Kubing, hewan tersebut tak kunjung menampakkan diri. Padahal, saya penasaran ingin segera menentukan hewan apakah sang hanoman tersebut sebenarnya. Meski untuk sementara dugaannya mengarah kepada Lutung berpaha putih (Presbytis siamensis) atau Lutung simpai (Presbytis melalophos).
Untungnya, rasa kecewa tersebut terobati lewat sajian makan malam yang kami santap di sebuah lahan terbuka. Tentu saja masih di area Gunung Kubing. Terlebih ada alunan gambus yang mengiringi santap malam kami tersebut.
Diawali pantai-pantai yang membius, diakhiri perjumpaan dengan tarsius
Jika ditanya momen terbaik dari perjalanan ke Belitung minggu lalu, saya dengan yakin akan menyebut kunjungan ke Pantai Tanjung Tinggi. Sebagai penggemar novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, melihat langsung tempat ini pada hari kedua Familiarization Trip Belitung Discovery ternyata sampai membuat saya merinding.
Pantai Tanjung Tinggi sendiri menyuguhkan pemandangan spektakuler dengan batu granit yang menjulang tinggi. Air lautnya yang jernih berwarna biru toska terlihat begitu tenang. Begitu menggoda untuk segera menceburkan diri.
Pasirnya yang halus dan putih bersih terasa lembut di bawah kaki. Di sini, kita juga bisa merasakan sensasi petualangan dengan menjelajahi celah-celah batu granit yang besar, mirip seperti yang dilakukan murid-murid SD Muhammadiyah Gantong.
Di pantai ini pula saya sudah mulai merasa menyesal pernah mengatakan tidak pernah menyukai wiata di laut. Air laut yang biru jernih, ombak yang tenang, pasir yang sangat halus, dan batu-batu gigantik di Pantai Tanjung Tinggi membuat saya harus menjilat ludah saya sendiri.
Saya benar-benar betah berada di pantai yang menjadi titik deklarasi persahabatan delapan tokoh dalam Laskar Pelangi.
Bergeser ke sisi sebelah barat, tentunya masih di wilayah utara pulau Belitung, saya tiba di Desa Wisata Keciput. Sebuah desa yang masuk dalam 50 besar Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) tahun 2024.
Melalui desa ini pula saya dan rombongan memulai petualangan menikmati keindahan alami Tanjung Kelayang. Kawasan yang ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) pada 2016 ini masuk dalam 10 Destinasi Pariwisata Prioritas Nasional.
Sebuah penetapan yang benar-benar dibuktikan oleh keindahan alamnya yang luar biasa. Pantai-pantai berpasir putih yang dihiasi oleh batuan granit raksasa menjadi ciri khas kawasan ini. Pemandangan eksotis ini, ditambah dengan keberadaan pulau-pulau kecil di sekitarnya, menciptakan panorama yang sangat memukau.
Selain dengan berenang atau snorkeling, salah satu cara menikmati keindahan kawasan Tanjung Kelayang adalah melalui aktivitas island hopping.
Kita bisa menikmati pasir putih dan “gua” batu di Pulau Kelayang, kemegahan mercusuar setinggi 18 lantai yang berusia hampir satu setengah abad di Pulau Lengkuas, hingga menikmati kuliner siput gonggong yang disebut-sebut sebagai pesaing berat escargot saat santap siang di Pulau Kepayang.
Sayang, kami tidak sempat menepikan perahu kami ke Pulau Batu Berlayar karena air laut sudah terlanjur pasang. Padahal, singgah dan berfoto di antara batu-batu raksasa di pulau tersebut bisa menjadi momen unik tersendiri.
Hujan deras yang turun tidak lama usai saya dan rombongan menginjakan kembali kaki kami di pulau utama Belitung kami nikmati dengan sajian kudapan dan kopi hangat di sebuah resort yang dikelola oleh salah satu jaringan hotel dari Amerika Serikat.
Saat hujan mulai berganti menjadi rintik-rintik, tim segera melaju menuju Bukit Peramun. Dua target utama kami, menikmati matahari terbenam dan melihat langsung tarsius.
“Specta Sunset.” Demikianlah nama yang digunakan untuk aktivitas mengejar matahari terbenam di Bukit Peramun. Dengan hanya berjalan kaki selama 15-30 menit sembari menikmati keunikan flora dan fauna hutan yang dikelola oleh Arsel Community Forest Management tersebut, kita akan sampai di Puncak Bukit.
Di ketinggian 129 mdpl di atas sebuah batu granit besar, kita akan menikmati hamparan hutan Pulau Belitung yang beberapa di antaranya sudah diselimuti awan. Ditemani kudapan dan teh hangat, saya sempat berniat memutar lagu “Negeri di Awan” dari Katon Bagaskara untuk semakin menyempurnakan momen indah ini.
Pemandu kami menjelaskan bahwa sebenarnya kami bisa melihat hamparan matahari terbenam dengan latar Laut China Selatan, termasuk di antaranya Pulau Lengkuas, Pulau Tanjung Tinggi, hingga Gunung, di tempat yang sama. Sayang, kami tiba sedikit terlambat karena matahari sudah terlalu jauh menyembunyikan dirinya.
Selain Specta Sunset, menurut pengelola, beberapa titik menarik lain yang bisa dinikmati di Bukit Peramun antara lain adalah Jembatan Gantung Merah, Batu Kembar, Mobil Terbang, serta Spot Sunset.
Beberapa saat usai menikmati matahari terbenam dan kembali ke pos pengelolaan, kami diberi kabar paling ditunggu-tunggu, beberapa orang anggota Arsel Community Forest Management, komunitas lokal yang mengelola Bukit Peramun, menemukan seekor tarsius.
Rombongan pun segera dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil. Tujuannya agar tarsius tidak merasa ketakutan karena dikelilingi oleh banyak orang. Selain itu, para peserta pun diperingatkan untuk tidak mengeluarkan suara kencang, tidak menyalakan flash, tidak memberi makan, dan wajib menjaga jarak maksimal hanya 1 meter dari tarsius.
Tidak sampai 5 menit tim berjalan kaki, terlihat beberapa petugas sudah menyalakan lampu khusus yang tidak terlalu terang untuk menunjukkan posisi tarsius yang sedang berada di sebuah batang pohon.
Tarsius Belitung (Cephalopachus bancanus saltator) yang kerap disebut monyet hantu oleh penduduk setempat merupakan spesies endemik Pulau Belitung yang sangat istimewa. Hewan nokturnal ini memiliki mata besar bulat yang membuatnya terlihat unik dan misterius. Sayangnya, keberadaan tarsius Belitung kini terancam punah.
Sebagai karnivora kecil, tarsius Belitung mengandalkan hutan sebagai habitatnya untuk mencari makan serangga, kadal, atau ular kecil. Namun, aktivitas penebangan hutan yang semakin marak telah merusak habitat mereka. Akibatnya, populasi tarsius Belitung terus menurun.
Berdasarkan data Tarsius Center Indonesia pada tahun 2008, diperkirakan hanya ada sekitar seribu individu tarsius Belitung yang tersisa di alam liar. Status konservasinya pun sangat memprihatinkan, terdaftar dalam Appendix II CITES dan dikategorikan sebagai Endangered oleh IUCN Red List.
Pada hari ketiga atau hari terakhir perjalanan saya di Belitung, saya dan rombongan berlayar menuju Pulau Leebong (atau Lebong). Sebuah pulau yang berjarak sekitar 3 kilometer atau sekitar 3 menit jika berlayar dari daratan utama Belitung, tepatnya dari Tanjung Ru.
Pulau seluas 37 hektar ini, dikelilingi oleh hamparan pasir putih yang luas dan air laut yang tenang. Hutan tropis yang masih alami dengan keunikan daun simpor, serta hutan mangrove, menciptakan suasana yang begitu memesona.
Rumah-rumah pantai yang didesain dengan perpaduan kayu jati dan atap alang-alang, mencerminkan arsitektur tradisional Indonesia yang harmonis dengan lingkungan sekitar. Bagi Anda yang tertarik mencoba tidur di rumah pohon atau di rumah di atas laut, Pulau Leebong pun turut menyediakannya.
Salah satu keunikan Pulau Leebong adalah fenomena alam yang terjadi saat air laut surut. Pulau-pulau pasir muncul di tengah laut, memperlihatkan kehidupan bawah laut yang menakjubkan, seperti bintang laut dan kepiting yang berkeliaran. Saya dan tim berkesempatan mengunjunginya di sore hari.
Perjalanan kami ditutup dengan makan malam yang intim nan syahdu di tepi pantai Pulau Lebong. Lengkap dengan beragam sajian makanan laut yang membuat mulut tak henti berucap "ini enak banget!"
KOMENTAR