Hidangan lengkap dengan berbagai lauk pauk, nasi putih, dan sambal akan disajikan di atas dulang. Menu andalannya adalah gagan, ikan berkuah kuning khas Belitung. Namun, yang paling menarik perhatian saya adalah terong tunjuk. Benar-benar seukuran telunjuk. Mungil.
Ada tata cara khusus dalam tradisi makan bedulang. Misalnya orang tertua yang membuka tudung saji dan yang termuda membagikan piring. Demikian pula dengan penggunaan serbet yang harus digunakan dengan cara tertentu agar bisa dipakai oleh empat orang.
Dulunya, makan bedulang dilakukan sehari-hari, namun kini lebih sering diadakan pada acara-acara khusus seperti pernikahan atau syukuran. Meski begitu, tradisi ini tetap menjadi bagian penting dari budaya Belitung, menyatukan orang-orang dalam suasana hangat dan kekeluargaan.
Rumah adat Belitung, yang biasa disebut dengan rumah panggong juga tak kalah menarik untuk dipelajari. Dengan luas sekitar 500 meter persegi, bangunan ini memiliki keunikan lewat tidak adanya sekat atau kamar, menciptakan suasana yang terbuka dan menyatu dengan alam.
Meski demikian, rumah adat Belitung tetap terbagi ke dalam lima bagian dengan fungsi berbeda. Bagian depan, yang paling tinggi, digunakan untuk menjamu tamu, sementara bagian belakang, yang lebih rendah, ditujukan untuk pembantu. Tata ruang ini mencerminkan hierarki sosial dan kearifan lokal masyarakat Belitung.
Selain itu, hampir seluruh bagian rumah ini terbuat dari bahan alami. Kayu, terutama kayu nyatoh untuk tiang dan kayu ulin untuk lantai, menjadi bahan utama.
Atapnya pun menggunakan kayu seru dan medang, serta daun rumbia dan ijuk. Bahkan, dindingnya pun banyak menggunakan bambu dan kulit kayu. Fondasinya sendiri menggunakan batu granit yang melimpah di daerah Belitung.
Uniknya, ukuran rumah ini tidak menggunakan meteran, melainkan menggunakan dulang, alat penutup makanan khas Belitung.
Selesai bercengkerama di rumah adat, kami langsung menuju Belitung Geopark Information Center yang terletak di Jalan Seroja, Tanjung Pandan. Sebuah tempat yang menggambarkan keindahan sekaligus keajaiban Belitung secara menyeluruh, mulai dari alam hingga budayanya.
Di sinilah saya berkenalan dengan batu satam, si hitam berkilau khas Belitung, yang ternyata punya kisah unik. Menurut Andre yang menjadi pemandu, sekitar 700 ribu tahun lalu, sebuah meteor besar menghantam Bumi, termasuk Indonesia. Ketika meteor ini jatuh di Belitung, yang kaya akan timah, terjadilah reaksi kimia.
KOMENTAR