Nationalgeographic.co.id―Kehidupan sejarah kota Pompeii diperkirakan dimulai abad kedelapan SM, ketika masyarakat Oscan, salah satu suku Italia, membangun pedesaan kecil di sekitarnya. Penduduknya terus bertambah berkat tanahnya yang subur di dekat Gunung Vesuvius.
Desa-desa ini kemudian tunduk di bawah Kekaisaran Romawi sebagai salah satu kota di dalam administrasi teritori kuno Campania. Kota ini tidak pernah benar-benar takluk, walau lokasinya di selatan Italia tidak jauh dari jantung Kekaisaran Romawi kuno.
Lalu, cerita kota ini terkubur pada 79 M. Gunung Vesuvius yang awalnya memberikan kehidupan, justru menyebabkan malapetaka dengan runtuhnya peradaban kebudayaan yang kaya di Pompeii. Letusannya sangat signifikan, sampai-sampai penduduk Pompeii terkubur di bawah lapisan tebal batu-batu kecil dari Gunung Vesuvius. Bangunan berarsitektur klasik pun runtuh karena malapetaka besar ini.
Sumber sejarah dalam menceritakan Pompeii berasal dari Plinius Muda (61-113 M). Surat kisah Pompeii ini ditulisnya sekitar 25 tahun setelah kejadian dengan deskripsi yang sangat detail. Plinius mengisahkan tentang pamannya, Plinius Tua, yang tewas dalam upaya menyelamatkan temannya yang menjadi korban erupsi Gunung Vesuvius.
Siapa orang Pompeii?
Para sejarawan telah menduga bahwa Pompeii berkembang menjadi kota kosmopolitan, alih-alih hanya dihuni orang Italia. Hal itu dibuktikan dengan pelbagai catatan sejarah kebudayaan dan peninggalan arsitektur yang mencirikan gaya Latin dan Yunani.
Untuk membenarkan dugaan Pompeii yang kosmopolit, beruntung jenazah-jenazah korban erupsi Gunung Vesuvius berhasil diawetkan, sehingga dapat diketahui identitasnya.
Sebuah penelitian di Current Biology bertajuk "Ancient DNA challenges prevailing interpretations of the Pompeii plaster casts" pada 7 November 2024, menelisik identitas jenazah kota Pompeii kuno dari DNAnya. Hasil analisis mengungkap bahwa ada cerita yang berbeda tentang keragaman identitas dan jenis kelamin masyarakat Pompeii kuno.
Secara etnis, penduduk Pompeii kuno sebagian besar merupakan keturunan imigran dari kawasan Mediterania Timur. Temuan ini berasal dari ekstraksi DNA pada sisa-sisa kerangka yang tersebar dan tertimbun dalam 14 dari 86 cetakan di situs arkeologi Pompeii.
Cerita yang tak terungkap dari korban erupsi Vesuvius
Tim peneliti mengekstraksi DNA dari sisa-sisa kerangka yang sangat terfragmentasi yang tertanam dalam 14 dari 86 cetakan terkenal yang sedang direstorasi. Proses ekstraksi ini memungkinkan mereka untuk secara akurat menetapkan hubungan genetik, menentukan jenis kelamin, dan melacak leluhur. Menariknya, temuan mereka sebagian besar bertentangan dengan asumsi sebelumnya yang hanya berdasarkan pada penampilan fisik dan posisi cetakan.
Baca Juga: Selain Letusan Gunung Vesuvius, Ada Hal Lain yang Hancurkan Pompeii
"Penelitian ini menunjukkan bagaimana analisis genetik dapat secara signifikan menambah cerita yang dibangun dari data arkeologi," kata David Caramelli, rekan penulis dan antropologi di University of Florence, Italia, dikutip dari Science Daily.
Penelitian ini memberikan gagasan baru tentang gender dan jenis kelamin penduduk Pompeii. Selama ini, penafsiran secara fisik mengidentikkan jenazah yang menggunakan perhiasan gelang emas sebagai wanita.
Salah satu contoh kasusnya, ketika ada jenazah orang dewasa dan seorang anak di dalam pelukan, sering ditafsirkan sebagai ibu dan anak. Nyatanya, dari hasil analisis, sosok dewasa tersebut adalah laki-laki dengan anak yang ternyata tidak punya ikatan biologis.
"Data ilmiah yang kami berikan tidak selalu sejalan dengan asumsi umum," kata David Reich, penulis koresponden penelitian dari Harvard University. Salah satu contoh lainnya, "sepasang individu yang dianggap sebagai saudara perempuan, atau ibu dan anak perempuan, ditemukan memiliki setidaknya satu pria genetik. Temuan ini menantang asumsi gender dan keluarga tradisional."
Penafsiran yang berbeda ini diperkirakan berkaitan dengan upaya konservasi jenazah, para peneliti. Pompeii ditemukan pertama kali oleh para pekerja yang hendak menggali untuk pembangunan Istana Musim Panas Raja Napoli Charles dari Bourbon (berkuasa 1735–1759) pada 1748.
Temuan ini kemudian menarik para pegiat sejarah kuno pada masa-masa berikutnya, termasuk ketika Napoli dikuasai Prancis pada masa Perang Napoleon. Plester yang membantu pengawetan dari jenazah yang membusuk diberikan pada 1870an.
Proses plester ini yang diduga oleh para peneliti menyebabkan perubahan postur dan lokasi penempatan. Akibatnya, penelitian setelah proses pemasangan plester itu membuat narasi-narasi tentang jenazah yang kita pahami sebelumnya.
"Penggunaan gabungan data genetik dan metode bioarkeologi lainnya memberi kita kesempatan untuk lebih memahami kehidupan dan kebiasaan para korban letusan Vesuvius," imbuh Caramelli.
Source | : | Science Daily |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR