Alih-alih dibuang setelah tidak terpakai, produk-produk dirancang untuk dapat digunakan kembali, diperbaiki, atau didaur ulang. Dengan demikian, limbah dapat ditekan seminimal mungkin, dan sumber daya alam dapat dimanfaatkan secara lebih efisien.
Konsep berbagi, sewa, dan penggunaan ulang menjadi kunci dalam ekonomi sirkular. Kita tidak perlu selalu membeli barang baru untuk memenuhi kebutuhan. Melalui perbaikan dan perbaikan, umur pakai produk dapat diperpanjang.
Ketika suatu produk benar-benar sudah tidak dapat digunakan lagi, material penyusunnya dapat didaur ulang untuk menciptakan produk baru. Dengan cara ini, nilai ekonomis dari suatu produk dapat terus dipertahankan, bahkan setelah melewati beberapa siklus penggunaan.
Perbedaan mendasar antara ekonomi sirkular dan ekonomi linier terletak pada pandangan terhadap produk dan sumber daya. Dalam ekonomi linier, produk dianggap sebagai barang sekali pakai. Setelah tidak berguna, produk tersebut dibuang. Sebaliknya, dalam ekonomi sirkular, produk dipandang sebagai aset yang berharga. Material penyusunnya dianggap terlalu berharga untuk sekadar dibuang.
Salah satu praktik yang bertentangan dengan prinsip ekonomi sirkular adalah perencanaan usang. Dalam praktik ini, produsen sengaja merancang produk agar cepat rusak atau usang sehingga konsumen merasa perlu membeli produk baru.
Praktik ini tidak hanya merugikan konsumen, tetapi juga mempercepat pemborosan sumber daya alam. Parlemen Eropa telah menyuarakan keprihatinan terhadap praktik ini dan mendorong adanya regulasi yang lebih ketat untuk mencegahnya.
Dengan mengadopsi model ekonomi sirkular, kita tidak hanya melindungi lingkungan tetapi juga menciptakan peluang ekonomi baru. Industri daur ulang, perbaikan, dan produksi produk ramah lingkungan akan tumbuh pesat. Selain itu, konsumen juga akan mendapatkan manfaat dari produk yang lebih awet dan berkualitas.
KOMENTAR