Penyewa jasanya khawatir jika link-boy mungkin tiba-tiba memadamkan obornya dan meninggalkan penyewa di bawah belas kasihan sekawanan pencuri. Tidak mengherankan bahwa para majikan mereka yang kaya raya merasa khawatir, pasalnya sebagian besar “lampu berjalan” itu adalah anak-anak yang sangat miskin.
Link-boy bahkan bertahan lebih lama dari munculnya lampu jalan di London. Ketika lampu gas pertama kali datang ke London pada awal tahun 1800-an, lampu-lampu itu cukup redup. Dan bahkan ketika lampu jalan semakin maju, muncul ancaman baru yang membuat link-boy diperlukan: kabut London yang terkenal.
London rentan terhadap kabut setidaknya sejak tahun 1600-an. Tapi ketika urbanisasi meningkat dan polusi memburuk, London mendapati dirinya suram dalam kabut yang semakin tebal dan lebih berbahaya. Banyaknya cerobong asap di London yang terus-menerus mengeluarkan asap.
Seperti yang dikatakan oleh salah satu jurnal meteorologi, “London bagai gunung berapi dengan seratus ribu mulut.” Ketika kondisi atmosfer bersekongkol untuk menekan asap ini kembali ke jalan-jalan, hasilnya mengerikan.
Begitu tebal dan kuning sehingga mendapat julukan “sup kacang”, kabut menutupi matahari di tengah hari. Tidak mungkin untuk melihat dari satu ujung jalan ke ujung lainnya. Udara membakar mata dan tenggorokan orang-orang, dan debu menggelapkan pakaian mereka. Serpihan jelaga menempel di bangunan-bangunan dalam bentuk kerak hitam.
Lampu gas diperkenalkan pada tahun 1811. Sebagian orang takut jika gas akan meracuni udara dan meledak serta melukai penduduk. Namun cahaya yang terus menerus dari nyala api gas akhirnya membuat masa depan anak-anak penghubung menjadi gelap.
Grosvenor Square menggunakan lampu gas pada 1842, itu adalah alun-alun terakhir yang diterangi oleh minyak. Di saat yang sama, “lampu berjalan” terakhir pun padam.
Source | : | The New York Times,JSTOR Daily |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR