Nationalgeographic.co.id—Bagi filsuf Yunani kuno, Socrates, jiwa berada di alam ideal karena sifatnya kekal, tidak berubah, dan tetap hidup setelah tubuh mati.
Plato, murid Socrates pernah mengungkapkan pemikiran gurunya tersebut tentang hakikat jiwa. Karyanya, Dialogues, menjadi catatan penting yang menjelaskan filosofi Socrates.
Dalam Dialogues, Plato menyampaikan gagasan Socrates melalui percakapan dengan tokoh lain.
Dalam dialog Phaedrus, Socrates bertemu Phaedrus yang baru saja mendengar pidato dari orator terkenal, Lysias. Mereka berjalan di sepanjang tepi Sungai Ilisos di luar kota Athena hingga menemukan tempat teduh di bawah pohon.
Di sana, Socrates mengajak Phaedrus membahas pidato Lysias. Dalam diskusi itu, Socrates menjelaskan tentang jiwa manusia melalui mitos "jiwa bersayap".
Socrates dan Jiwa Manusia
Socrates meyakini bahwa realitas bersifat dualistik, terdiri dari dua alam yang berbeda. Satu alam bersifat berubah-ubah, sementara yang lain tidak berubah, kekal, dan sempurna.
Dunia fisik tempat kita hidup termasuk dalam alam pertama. Dunia ini adalah tempat di mana kita melihat, mendengar, mencicipi, mencium, dan merasakan.
Alam tersebut, menurutnya, adalah alam manusia yang terus berubah. Menurut Socrates, jiwa manusia berada di alam ini.
Sebaliknya, alam lainnya adalah alam gaib yang tidak berubah, kekal, sempurna, dan mencakup esensi intelektual seperti kebenaran, kebaikan, dan keindahan.
Menurutnya, jiwa adalah hal yang gaib. Meski jiwa manusia memiliki hubungan erat dengan tubuh, keduanya adalah entitas yang sangat berbeda.
Baca Juga: Kehidupan Socrates Kecil dan Kisahnya di Medan Pertempuran Yunani Kuno
Jiwa manusia berusaha mencari kebijaksanaan dan kesempurnaan melalui akal. Namun, selama jiwa terikat pada tubuh, pencarian ini terhambat oleh ketidaksempurnaan dunia fisik, karena jiwa ditarik oleh tubuh ke dalam wilayah yang berubah-ubah membuatnya "berkelana dan bingung".
Jika jiwa mampu membebaskan diri dari ketidaksempurnaan dunia fisik dan mencapai ikatan dengan yang tidak berubah, maka jiwa itu akan mencapai keadaan gaib.
Jiwa Bersayap dan Alegori Kereta Kuda
Menurut Socrates dan Plato, jiwa-jiwa melakukan perjalanan menuju surga. Jiwa ini digambarkan sebagai kereta bersayap dengan dua kuda yang dikendalikan oleh seorang kusir.
Kusir melambangkan bagian rasional dari jiwa, yaitu kemampuan manusia untuk berpikir dan menilai.
Salah satu kuda melambangkan bagian jiwa yang penuh semangat, terkait dengan emosi kuat seperti amarah dan keberanian. Kuda lainnya mewakili bagian nafsu, yang berhubungan dengan kebutuhan fisik seperti lapar, haus, dan hasrat.
Saat jiwa melakukan perjalanan, mereka mencapai titik di mana mereka bisa melihat melampaui langit, tempat kebenaran mutlak berada.
Di titik ini, kuda-kuda menjadi tenang dan patuh, mengikuti perintah kusir. Jiwa para dewa dapat dengan damai merenungkan esensi dan kebenaran segala hal.
Namun, hal ini berbeda untuk jiwa manusia. Kuda yang melambangkan bagian semangat berwarna putih, berdiri tegap dengan postur sempurna.
Kepalanya terangkat tinggi, dengan hidung mulia dan mata hitam. Kuda ini bangga, tetapi tetap terkendali, jujur, dan terhormat. Ia mengikuti perintah kusir tanpa perlu dicambuk.
Baca Juga: Akhir Pilu Tokoh-tokoh Penting Yunani Kuno, Ada yang Mati Kelaparan
Sebaliknya, kuda yang mewakili nafsu berwarna hitam dan liar. Tubuhnya bengkok, gemuk, dan tidak berbentuk. Lehernya pendek dan tebal, wajahnya lebar, dengan mata kelabu yang merah dan bengkak.
Kuda hitam ini tuli terhadap perintah kusir dan tidak merespons cambukan. Ia cenderung pada kesombongan dan arogansi.
Dalam jiwa manusia yang lebih mendekati jiwa para dewa, kusir bisa mengangkat kepala untuk melihat kebenaran di balik langit.
Namun, kuda-kuda tidak selalu patuh. Kusir yang sibuk mengendalikan kereta sering kehilangan fokus dari apa yang mereka lihat. Jiwa-jiwa ini hanya bisa melihat sebagian besar kebenaran, tetapi tidak seluruhnya.
Pada beberapa jiwa manusia lainnya, kuda-kuda lebih sulit dikendalikan. Mereka tidak mendengar perintah kusir dan tidak bergerak selaras, malah menarik kereta ke bawah.
Kusir berusaha mengendalikan mereka dengan menarik tali kekang, tetapi hanya sesekali bisa mengalihkan pandangan ke arah kebenaran. Jiwa-jiwa ini hanya menangkap sedikit bagian kebenaran.
Akhirnya, beberapa jiwa manusia memiliki kuda yang sangat liar. Kuda-kuda ini meringkik, mengangkat kaki, dan bertabrakan satu sama lain, sementara kusir berjuang untuk tetap berdiri. Tidak peduli sekeras apa pun usaha mereka, kusir tidak mampu mengendalikan kereta.
Menurut Socrates, jiwa-jiwa ini terinjak-injak, saling menarik, sayap mereka hancur, dan mereka tidak pernah berhasil mendapatkan sedikitpun kebaikan.
Plato dan Jiwa
Teori jiwa Plato serupa dengan pandangan Socrates, tetapi Plato membaginya menjadi tiga bagian: nafsu, semangat, dan rasional.
Nafsu mengatur keinginan tubuh, seperti makan dan kebutuhan fisik lainnya.
Semangat berkaitan dengan hasrat emosional, seperti amarah akibat penghinaan atau keinginan untuk mendapatkan penghormatan.
Rasional adalah bagian jiwa yang mencari kebenaran dan menggunakan logika untuk berpikir.
Jiwa yang didominasi oleh nafsu menjadi tidak stabil karena setiap keinginan dapat mengambil alih kendali.
Jiwa yang dikuasai semangat lebih teratur, tetapi masih sulit sepenuhnya selaras karena emosi sering sulit dikendalikan.
Sebaliknya, jiwa yang dipimpin oleh rasional berada dalam keadaan harmonis dan adil. Jiwa ini memiliki hasrat dan emosi, tetapi dalam takaran yang sesuai dan diarahkan untuk tujuan yang logis.
Source | : | Greek Reporter |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR