Nationalgeographic.co.id—Kisah Antigone dan Polynices dalam mitologi Yunani adalah peringatan tentang bahaya dosa kesombongan. Seperti banyak kelemahan manusia lainnya dalam mitologi Yunani, kesombongan sering kali membawa kehancuran.
Tragedi Antigone yang tetap relevan hingga kini, menceritakan perjuangannya untuk memberikan pemakaman layak bagi saudaranya, Polynices. Kisah ini ditulis dengan indah oleh Sophocles dan tetap relevan bagi dunia modern.
Polynices, yang namanya dalam bahasa Yunani berarti "banyak perselisihan" adalah putra Oedipus dan Jocasta atau Euryganeia. Ia adalah kakak dari Eteocles, seperti yang disebutkan dalam karya Sophocles Oedipus at Colonus.
Setelah Oedipus diketahui membunuh ayahnya dan menikahi ibunya, ia diusir dari Thebes. Hal itu menjadi sebuah kutukan yang menimpa dirinya.
Kekuasaan di Thebes kemudian diserahkan kepada kedua putranya, Eteocles dan Polynices. Keduanya sepakat untuk memerintah secara bergantian setiap tahun.
Dosa abadi manusia, yaitu kesombongan
Namun, karena kutukan lain yang dijatuhkan oleh ayah mereka, ketika tiba saatnya Eteocles turun takhta, ia mengusir Polynices dari kerajaan dan menyimpan takhta untuk dirinya sendiri.
Polynices kemudian mengumpulkan pasukan dan berbaris melawan negara-kota, dalam sebuah insiden yang dikenal sebagai "Tujuh melawan Thebes."
Para penyerang berhasil dipukul mundur, tetapi kedua bersaudara itu akhirnya terlibat dalam pertempuran jarak dekat yang mengakibatkan mereka saling membunuh.
Setelah kematian mereka yang malang, paman mereka, Creon memerintah Thebes sebagai seorang tiran. Ia menguburkan Eteocles dalam upacara yang mulia sebagaimana layaknya seorang penguasa.
Akan tetapi, ia membiarkan jasad Polynices, yang telah dizalimi oleh saudaranya sendiri. Jasadnya ditelanjangi dan dimakan binatang karena dia telah melawan kotanya sendiri.
Baca Juga: Hecate, Dewi Sihir dalam Mitologi Yunani yang Hidup di Persimpangan Jalan
Melihat pemandangan mengerikan dari saudaranya, Antigone merasa berkewajiban untuk melayaninya, menguburnya dengan upacara yang pantas seperti pemakaman lainnya.
Akan tetapi, ketika ia ketahuan melakukan hal itu, ia sendirilah yang membayar harga yang lain. Oleh karena itu, tragedi yang dialami kedua bersaudara itu menjadi lengkap.
Namun, ada alasan untuk kemalangan ini. Menurut norma pada saat itu, baik saudara laki-laki maupun saudara perempuan, mereka harus membayar dosa kesombongan yang telah mereka lakukan di masa lalu.
Siklus kutukan
Dalam Thebaid, sebuah syair epik yang menceritakan perebutan kekuasaan atas Thebes, kedua saudara, Polynices dan Eteocles, dikutuk oleh ayah mereka, Oedipus.
Mereka dikutuk karena dianggap telah menghina dirinya dalam dua peristiwa penting.
Pertama, mereka menggunakan meja perak milik Cadmus dan cawan emas, benda-benda yang dilarang oleh Oedipus.
Kemudian, mereka memberikan paha hewan kurban kepada Oedipus, alih-alih bahu hewan, yang merupakan bagian yang seharusnya ia terima.
Merasa sangat terhina oleh perlakuan tersebut, Oedipus memohon kepada Zeus agar kedua putranya saling membunuh.
Namun, dalam karya Sophocles Oedipus at Colonus, kisah ini sedikit berbeda. Diceritakan bahwa Oedipus ingin tetap memerintah Thebes tetapi diusir oleh Creon.
Baca Juga: Mitologi Yunani dan Sains Bertemu di Langit Malam dalam Konstelasi Cetus
Kedua putranya kemudian bertikai mengenai takhta. Eteocles berhasil memperoleh dukungan warga Thebes dan mengusir Polynices.
Dalam upayanya untuk merebut kembali kota itu, Polynices mendatangi Oedipus untuk meminta restu.
Namun, yang ia terima hanyalah kutukan untuk mati di tangan saudaranya sendiri.
Menurut Bibliotheca dan Diodorus, Eteocles kemudian mengasingkan Polynices, yang akhirnya menemukan perlindungan di kota Argos. Di sana, ia diterima oleh raja Argos, Adrastus, yang memberinya putri Argia sebagai istri.
Adrastus berjanji untuk membantu menantunya merebut kembali takhta Thebes dan membentuk pasukan ekspedisi. Ia menunjuk tujuh orang pemimpin untuk memimpin serangan tersebut, masing-masing ditugaskan pada salah satu dari tujuh gerbang kota Thebes.
Para pemimpin ini, termasuk Adrastus dan Polynices sendiri, dikenal sebagai Tujuh Melawan Thebes.
Namun, ekspedisi ini berakhir dengan bencana total karena semua pemimpin kecuali Adrastus tewas. Pada akhirnya, Polynices dan Eteocles saling berhadapan dalam pertarungan langsung yang menentukan nasib mereka.
Masih relevan hingga saat ini
Dalam tragedi epik Sophocles, kisah Antigone dan Polynices berlanjut setelah kematiannya. Raja Thebes yang baru, Creon, menetapkan dekrit bahwa jenazah Polynices tidak boleh dimakamkan atau diratapi, dengan hukuman mati melalui rajam bagi yang melanggar.
Namun, Antigone, saudara perempuannya, dengan bangga melawan perintah tersebut. Ketika tertangkap melanggar hukum, Creon menghukumnya dengan hukuman mati, meskipun Antigone bertunangan dengan putranya, Haemon.
Saudara perempuan Antigone, Ismene, yang sangat terguncang oleh nasib saudarinya, mengaku turut membantu Antigone memberikan upacara pemakaman kepada Polynices.
Baca Juga: Kutukan Aphrodite dan Pembantaian Pria di Pulau Lemnos dalam Mitologi Yunani
Meski begitu, Creon tetap memerintahkan Antigone untuk dikurung dalam makam hidup-hidup hingga ajal menjemputnya.
Para dewa, melalui utusannya Tiresias, menyatakan ketidakpuasan mereka atas keputusan Creon.
Akhirnya, Creon mencabut dekritnya dan memutuskan untuk menguburkan Polynices serta membebaskan Antigone.
Namun, ia terlambat. Antigone telah gantung diri, memilih kematian cepat daripada mati perlahan di dalam makam.
Ketika Creon tiba di makam, putranya, Haemon, bunuh diri karena kehilangan Antigone. Istri Creon, Eurydice yang mendengar kematian putranya, juga mengakhiri hidupnya sendiri.
Setelah serangkaian tragedi ini, mungkin terlihat bahwa pesan yang ingin disampaikan orang-orang kuno adalah kehidupan itu sendiri sia-sia, karena apa pun yang dilakukan manusia berakhir dengan penderitaan, dan mustahil untuk melarikan diri dari nasib tersebut.
Namun, pesan utama dalam cerita ini adalah dampak buruk dari kesombongan, yang menjadi "tumit Achilles" bagi setiap karakter.
Source | : | Greek Reporter |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR