Nationalgeographic.co.id—"Tiba-tiba gajah itu muncul dan kami akhirnya lari tunggang-langgang."
Haryanto (44 tahun) masih ingat betul pertemuan dengan sekawanan gajah itu. Peristiwa menegangkan tersebut ia alami pada suatu malam sekitar empat tahun lalu.
Peristiwa malam itu bermula pada bakda isya. Kala itu Haryanto sedang duduk bersantai di sofa dalam rumahnya sembari menonton televisi.
Tiba-tiba terdengar suara dentuman besar mirip ledakan mercon atau kembang api dan kemudian disusul oleh bunyi sirene yang nyaring. Haryanto paham betul dua suara tersebut adalah penanda kabar dari satgas konflik satwa—salah satu subkelompok dari Kelompok Pelestari Hutan Pesanguan (KPHP)—mengenai kehadiran gajah di dekat permukiman mereka di Pekon Pesanguan.
Pekon adalah istilah kearifan lokal di Lampung untuk menyebut desa. Pekon Pesanguan sendiri berlokasi di Kecamatan Pematang Sawa, Kabupaten Tanggamus, Lampung. Lokasinya berbatasan dengan wilayah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
Suara ledakan "mercon" dari perangkat rakitan dan bunyi sirine dari megafon (toa) itu dibuat oleh para anggota satgas konflik satwa setelah mereka memastikan memang ada kawanan gajah di dekat permukiman. Jumlahnya enam ekor gajah.
"Ada suara gajah. Dan rekan-rekan satgas ini langsung memeriksa di mana letak gajah itu berada. Terus akhirnya memberi tahu kepada teman-teman semuanya dan gajah itu akhirnya ketemu titiknya di mana, terus sama-sama dilakukan penggiringan," tutur Haryanto mengenang kejadian tersebut, saat berbincang dengan National Geographic Indonesia pada 8 November lalu.
Para anggota KPHP melakukan penggiringan gajah dengan menyalakan obor dan mengeluarkan bunyi-bunyian yang kencang, termasuk dengan menyalakan mercon dan sirene. "Dan kita sambil teriak-teriak bareng-bareng. Jadi gajah akan pergi sendiri menjauhi suara dan cahaya itu," jelas Haryanto yang kini menjabat sebagai ketua KPHP.
Haryanto dan rekan-rekannya melakukan penggiringan kawanan gajah dari dekat permukiman hingga masuk ke kawasan TNBBS. Kurang lebih mereka masuk hutan TNBBS hingga kedalaman 50 meter. Mereka menggiring kawanan gajah itu kembali ke dalam hutan hingga tubuh gajah-gajah itu tak terlihat lagi dan suara gajah-gajah tersebut juga tak terdengar lagi.
"Nah, di situ, ketika si gajah itu tiba-tiba tidak ada suara lagi dan kami akhirnya mencoba sama-sama diam untuk mendengarkan di mana gajah itu ada. Terus tiba-tiba gajah itu muncul dan kami akhirnya lari tunggang-langgang," tutur Haryanto.
"Ada yang nubruk kayu, ada yang, ah, pokoknya tidak karu-karuan, lari ketakutan semua," serunya. "Karena kami mengira ketika gajah itu berdiri dan membalik ke arah kami, itu seolah-olah seperti mengejar padahal tidak. Tapi itu karena rasa takutnya kami, akhirnya kami lari."
Setelah lari keluar hutan, Haryanto dan rekan-rekannya kemudian berkumpul di pinggir jalan raya. "Tiba-tiba kami keingat satu orang, satu orang ini belum muncul," ucapnya meneruskan cerita.
"Kami cari-cari, kami tanya ke teman lain itu tidak ada yang tahu. Terus akhirnya kelihatan tuh ada senter dari jarak yang sekitar 50-an meter itu, ternyata dia itu tiarap di rumput-rumput ilalang itu, sambil merangkak."
Gajah-gajah itu terlihat berdiri di samping rekan Haryanto yang sedang bersembunyi dengan bertiarap. "Ternyata senternya itu keinjek sama si simbah gajah [panggilan penghormatan untuk gajah] itu tadi. Akhirnya dia merangkak, merangkak, merangkak, akhirnya punya celah, langsung lari."
Faktanya, malam itu, kawanan gajah tersebut tetap berada di dalam hutan TNBBS. Mamalia-mamalia besar itu untungnya tak mengejar warga dan tidak kembali ke arah permukiman.
Melindungi Gajah, Menyelamatkan Hutan
Penghalauan dan penggiringan gajah, seperti yang sering dilakukan Haryanto dan rekan-rekannya ini, merupakan bagian dari tugas satgas konflik satwa KPHP agar gajah tidak merusak perkebunan dan permukiman warga. Tujuannya supaya tidak terjadi konflik antara manusia dan gajah. Jika terjadi konflik, bisa timbul korban dari kedua belah pihak.
Konflik manusia-gajah umumnya terjadi di sekitar kantong-kantong populasi gajah sumatra yang tersisa. Di Aceh misalnya, dalam rentang tahun 2012-2017, konflik manusia-gajah telah menewaskan 8 orang dan membunuh 45 gajah.
Di Jambi, konflik manusia-gajah bak acara rutin. “Hampir setiap hari terjadi,” kata Koordinator Polisi Kehutanan dan Penanganan Konflik Satwa Liar BKSDA Jambi, Jefrianto, kepada National Geographic Indonesia beberapa waktu lalu. Di Lampung, konflik manusia-gajah yang terjadi pada 3 Juli 2018, sebagai salah satu contoh, telah menewaskan 1 orang.
Konflik antara manusia dan gajah ini diperburuk oleh alih guna hutan. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, jumlah gajah sumatra hanya tersisa 924-1.359 individu di 22 kantong populasi. Fauna itu kini masuk Daftar Merah IUCN dan berstatus kritis. Cuma satu tingkat di bawah status punah di alam liar.
Padahal, gajah memiliki kontribusi besar bagi kelestarian bumi. Dalam sebuah makalah studi bertajuk "Megaherbivores modify forest structure and increase carbon stocks through multiple pathways" yang terbit di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) pada Januari 2023, tim peneliti internasional mengungkapkan pentingnya peran gajah dalam menjaga lingkungan.
Menyelamatkan Gajah, Menghambat Laju Perubahan Iklim
Studi tersebut mengungkapkan bahwa melindungi gajah berarti menyelamatkan bumi. Sebab, gajah melindungi hutan yang berfungsi sebagai penyimpan dan penyerap karbon.
Kalau tak ada gajah, hutan bisa rusak dan melepas banyak karbon sehingga mempercepat laju pemanasan global dan perubahan iklim. Efek dari perubahan iklim ini bisa kita rasakan berupa adanya gelombang panas dan semakin seringnya terjadi bencana alam. Cuaca ekstrem yang menyebabkan kegagalan panen dan kerawanan pangan juga termasuk dampak dari perubahan iklim.
Salah satu peneliti dalam studi mengenai gajah tersebut adalah Stephen Blake, lektor biologi di Saint Louis University, Amerika Serikat. Blake, yang telah menghabiskan banyak waktu dalam kariernya untuk meneliti gajah, menjelaskan betapa besarnya peran gajah dalam mengelola hutan.
"Mereka akan melucuti daun dari pohon, merobek seluruh cabang atau mencabut pohon muda saat makan, dan data kami menunjukkan sebagian besar kerusakan ini terjadi pada pohon dengan kepadatan karbon rendah," papar Blake seperti dikutip dari laman resmi Saint Louis University.
Gajah juga merupakan penyebar benih yang ulung. Mereka menyebarkan biji pohon dengan kepadatan karbon tinggi dengan sangat baik.
Pohon-pohon ini sering menghasilkan buah-buahan bergizi besar yang dimakan gajah. Biji-biji dalam buah itu melewati usus gajah tanpa rusak. Jadi, ketika dilepaskan melalui kotoran, biji-biji itu siap untuk berkecambah dan tumbuh menjadi beberapa pohon terbesar di hutan.
“Gajah adalah tukang kebun di hutan,” tegas Blake. “Mereka menanam hutan dengan pohon berkepadatan karbon tinggi dan mereka menyingkirkan 'gulma', yang merupakan pohon berkepadatan karbon rendah. Mereka melakukan banyak sekali pekerjaan untuk menjaga keanekaragaman hutan.”
"Kita sekarang dapat menambahkan kesimpulan yang kuat bahwa jika kita kehilangan gajah hutan, kita berarti melakukan tindakan yang merugikan terhadap mitigasi perubahan iklim global," imbuh Blake lagi.
Jadi, boleh dikata, dengan mencegah timbulnya konflik antara manusia dan gajah sumatra, KPHP telah ikut berperan besar dalam menyelamatkan gajah sumatra. Dengan demikian, KPHP juga telah berperan dalam menyelamatkan hutan dan menghambat laju perubahan iklim.
Memulihkan Hutan, Mengembalikan Keanekaragaman Hayati
Selain satgas konflik satwa, dalam bagan organisasi KPHP juga terdapat beberapa subkelompok lainnya, yakni tiga subkelompok dari bidang restorasi dan pembibitan, satu subkelompok pemanfaatan air, subkelompok tani organik, subkelompok ekowisata, satgas masyarakat peduli api (MPA), dan lain-lain.
Dari banyaknya subkelompok tersebut, tampak aktivitas KPHP memang begitu luas. Dan peran KPHP dalam menjaga dan melestarikan hutan di kawasan TNBBS dan sekitarnya juga memang begitu besar.
Sejak dibentuk pada 2012—berkat dorongan Yayasan PILI dan Universitas Lampung—dan diresmikan pada 2013, KPHP telah merestorasi setidaknya 225 hektare hutan yang rusak akibat perambahan. Luas hutan yang dipulihkan dengan penanaman pohon kembali itu setara dengan luas 315 lapangan sepak bola. Kegiatan restorasi itu mereka lakukan baik melalui program restorasi bersama, yang dikerjakan lewat dukungan dan kolaborasi dengan berbagai pihak, maupun secara swadaya atau mandiri.
Anggota KPHP juga bertambah seiring berjalannya waktu. Dari yang semula hanya 20 orang, kini sudah menjadi 60 orang. Mereka bahkan berhasil mengajak para perambah hutan agar insaf dan kini bertransformasi menjadi pelestari hutan.
"Awal-awal kegiatan restorasi, sih, kami pernah dibenci oleh temen-teman yang belum ikut gabung di KPHP," tutur Haryanto. "Bahkan kami dianggap sebagai anteknya, kaki-tangannya Polhut, tetapi lambat laun mereka akhirnya mulai sadar dan bahkan bergabung dengan kami dalam melestarikan hutan sampai kami bisa melakukan restorasi swadaya seluas 17 hektare."
Para perambah tersebut tertarik bergabung dengan KPHP "karena mereka sudah merasakan sendiri manfaat dari kegiatan restorasi awal," kata Haryanto. "Air lebih melimpah. Udara lebih segar, lebih sejuk, tidak sepanas seperti sebelumnya."
Selain itu, kini warga juga bisa lebih sering mendengar irama merdu dari hutan: kicauan burung. "Burung-burung kecil itu jadi lebih sering dan mudah kami jumpai," ucap Haryanto.
Sepak terjang KPHP dalam melestarikan hutan di Lampung telah membawa Haryanto ke Jakarta. Pada awal Desember ini, Haryanto mewakili KPHP menerima penghargaan KEHATI Award dari Yayasan KEHATI. Usaha yang dilakukan Haryanto dan rekan-rekannya dalam KPHP diharapkan bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang lain untuk ikut melindungi satwa liar dan hutan demi kehidupan bumi yang lebih lestari.
Menyelamatkan Kehidupan: Kalau Bukan Kita, Siapa Lagi?
Yang dilakukan Haryanto dan rekan-rekannya dalam KPHP bukanlah sekadar menanam pohon meranti atau kuyung/damar di lahan hutan yang rusak. Yang mereka lakukan sejatinya adalah lebih dari itu: menyelamatkan kehidupan mereka dan banyak orang lainnya.
Hutan adalah pabrik oksigen sekaligus penyerap karbon dioksida—bahan bakar perubahan iklim. Oksigen yang diproduksi hutan dihirup tak hanya oleh satwa-satwa liar di hutan, tetapi oleh semua populasi global. Jadi yang dilakukan KPHP bukanlah sekadar menyelamatkan hutan TNBBS dan sekitarnya, melainkan menyelamatkan kehidupan global.
Mendiang Chico Mendes, seorang aktivis lingkungan di Amazon, Brasil, pernah berkata, “Pada awalnya saya mengira saya berjuang untuk menyelamatkan pohon karet, maka saya pikir saya sedang berjuang untuk menyelamatkan hutan hujan Amazon. Sekarang saya menyadari saya berjuang untuk kemanusiaan.”
Masalahnya, kita tidak bisa cuma mengandalkan orang-orang seperti Haryanto ataupun Chico Mendes. Bagaimana jika mereka tidak ada?
Ini adalah kehidupan kita. Jadi kita sendirilah yang harus jadi penyelamatnya. Kontribusi sekecil apa pun dari kita dalam penyelamatan lingkungan sangatlah penting untuk menyelamatkan kehidupan kita sendiri.
Haryanto sempat curhat, dia telah menjabat sebagai ketua KPHP sejak 2018. Kurun waktu 2018-2024 itu termasuk lama, mengingat pergantian susunan kepengurusan KPHP seharusnya dilakukan tiap dua tahun sekali.
Posisi ketua KPHP seharusnya sudah beralih dari tangan Haryanto. Hanya saja, ketika rapat regenerasi, "teman-teman itu enggak ada yang mau. 'Belum siap,' seperti itu alasannya, sih," ungkap Haryanto.
Haryanto mengakui, sebagai ketua, dirinya harus mengorbankan banyak waktu dan tenaga untuk KPHP. Maklum, KPHP punya banyak agenda kegiatan sosial yang otomatis membuat sang ketua perlu meluangkan banyak waktu dalam kegiatan-kegiatan tersebut.
Meskipun sudah lebih dari tiga periode, Haryanto masih rela berkorban untuk menjadi ketua KPHP. Alasannya, tidak mudah untuk membentuk KPHP sejak 2012 hingga saat ini.
"Ini kan tidak gampang dan tantangan yang dihadapi dari awalnya sangat luar biasa. Makanya kalau tidak ada yang siap untuk mengurusi atau dibiarkan begitu saja, kan sayang," ujarnya.
"Jadi, bukan hal yang mudah untuk membangun kebersamaan itu dan ini sudah dibangun dari tahun 2012 sampai sekarang. Ini kan sudah 12 tahun. Jadi ya sayang kalau tidak ada yang ngurus ini, ya. Jadi, walau seperti apa pun, saya akan tetap siap untuk membagi waktu untuk ini."
Beruntung, Pekon Pesanguan masih punya warga seperti Haryanto yang tidak mengandalkan orang lain untuk bergerak dan memimpin gerakan penyelamatan lingkungan. Bergerak menyelamatkan kehidupan bumi dari perubahan iklim.
Kita perlu sadar, bumi niscaya bakal cepat hancur jika semua orang hanya bisa menunjuk orang lain. Robert Swan, seorang penjelajah kutub yang juga aktivis lingkungan, pernah berkata, "Ancaman terbesar bagi planet kita adalah keyakinan bahwa ada orang lain yang akan menyelamatkannya."
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR