Biaya sekolah yang dibutuhkan hanya berkisar f. 0,50. Dalam catatan Rochiati, biaya sekolah ini sangat amatlah murah jika dibandingkan dengan biaya sekolah gubermen dan anak-anak Eropa.
Ambil contoh sekolah Eropa paling populer di zamannya di mana setiap termijn—pembabakan jangka waktu studi, kini menggunakan sistem semester—ditarik uang sekolah minimum f.2,40 (gulden) ditambah dengan uang alat dan bahan sebanyak f.0,60 (gulden).
Setahun terdiri dari 10 termijn, sehingga dalam setahun, orang tua siswa harus merogoh saku lebih dalam dengan biaya sebesar f.30 (gulden). Demikian catatan Rochiati Wiraatmadha dalam bukunya Dewi Sartika (2009).
Namun, meski biaya sekolahnya murah, Sekolah Kaoetamaan Istri bukanlah sekolah murahan. Kurikulum yang disusun dituang sesuai dengan visi pemikiran Dewi Sartika yang cemerlang.
Di sekolah ini siswa perempuan diberi keterampilan, kecakapan, dan wawasan berbudi seperti menjahit, menambal, menyulam, merenda, memasak, menyajikan makanan, P.P.P.K., memelihara bayi, dan mendapat pelajaran Agama.
Pada gilirannya, wanita dengan keterampilannya mulai memasuki jenjang pendidikan yang lebih jauh lagi. Para tamatan Sekolah Kautamaan Istri kebanyakan melanjutkan pendidikannya ke sekolah rintisan van Deventer.
Seterusnya, para perempuan-perempuan terpelajar ininya mulai terlibat dalam organisasi modern di zaman kebangkitan nasionalisme. Peran serta mereka dalam organisasi modern memunculkan wajah perempuan modern yang kita kenal.
Mulai lahir organisasi-organisasi khusus perempuan yang menunjang kemajuan kaum perempuan, bahkan sekalipun dalam hal politik.
Wajar jika hari ini kita dapat melihat perempuan dapat memegang kendali dalam berbagai sektor yang dahulu hanya diduduki oleh sejumlah laki-laki.
Source | : | Dewi Sartika (2009),jurnal ENTITA |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR