Nationalgeographic.grid.id—Laki atau perempuan, di zaman yang serba modern ini tak begitu kentara perbedaannya. Perempuan telah turut berkontribusi di segala lini. Bahkan, permunculannya dapat hingga ke tampuk tertinggi: menjadi seorang pemimpin.
Namun, di Jawa zaman kolonial Hindia Belanda sebelum diterapkannya Politik Ethiek, stigma terhadap perempuan jauh dari pandangan kesetaraan gender yang kita kenal hari ini.
Perempuan di masa feodal, ditempatkan pada kondisi yang terhimpit dan terdiskriminasi. Terlebih, hegemoni patriarkis telah mengikis kekuatan perempuan, sehingga mereka terjerembab dalam belenggu penjajahan para lelaki.
A. Fatikhul Amin Abdullah menulis dalam jurnal ENTITA berjudul Perempuan Indonesia Sampai Awal Abad Ke-20 (2019) yang menyebut bahwa perempuan terbelenggu oleh banyak himpitan: agama, adat istiadat, dan sistem budaya patriarki yang berkembang.
Banyak ketidakadilan dalam adat istiadat yang berlaku dalam perkawinan seperti kawin paksa, sistem poligami, sistem selir, ditambah dengan adanya sistem pergundikan dalam masyarakat kolonial.
Realitas sosial anak perempuan dan gadis pribumi sebelum mulai mengenyam hak-hak mereka untuk mendapat pendidikan menjadi ironi tersendiri.
Dalam beberapa gubahan sastra, termasuk Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, digambarkan gadis berusia empat belas tahun bernama Sanikem diminta paksa oleh ayahnya untuk menjadi gundik seorang Belanda bernama Tuan Mellema demi uang sebesar f.25 (gulden).
Realitas ini menggambarkan peristiwa umum yang menjamur di masyarakat, baik terpaksa diperjual-belikan maupun berdasar keinginan sendiri demi meningkatkan status sosialnya di masyarakat.
Pergundikan yang marak di Hindia menjadi gambaran kurangnya kesadaran diri perempuan untuk bangkit menjadi pribadi yang mandiri dan tangguh dalam melawan kondisi zaman. Sampai pada gilirannya, muncul tokoh bernama Dewi Sartika dari tanah Priangan.
Ia lahir di Bandung, pada 4 Desember 1884 yang tertakdir hidup di kalangan priyayi. Lahir di antara keluarga ningrat, Dewi Sartika mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan Belanda, yaitu Eerste Klasse Inlandsche School.
Baca Juga: Dewi Sartika, Guru yang Membangun Citra Perempuan Lewat Pendidikan
Belum marak pendidikan perempuan untuk pribumi secara umum. Pada masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda di abad ke-19, pendidikan baru diberikan kepada anak-anak perempuan Eropa, itu pun hanya untuk kalangan atas.
Sebut saja lnstituut voor de Opvoeding van Jonge Juffrouwen dibuka pada tahun 1824. Sekolah ini merangkap asrama untuk anak-anak gadis (meisjes kostschool).
Sebagai syarat masuk antara lain ditentukan, bahwa calon siswanya harus dapat berbicara bahasa Belanda. Dari sini upaya Dewi Sartika mendirikan sekolah pribumi mulai muncul.
Rochiati Wiriaatmadja dalam buku gubahannya berjudul Dewi Sartika terbitan 2009, mengisahkan perjuangan Sartika—panggilannya—dengan perkerasan upayanya berusaha membangun sekolah khusus perempuan.
Hasratnya untuk membuka sekolah, bagi gadis-gadis remaja semakin besar. Hal ini didorong oleh kondisi keluarganya sendiri. Dewi Sartika menyaksikan penderitaan ibunya sendiri akibat ditinggalkan oleh ayahnya yang menjalani hukuman pengasingan di Ternate.
lbunda Dewi Sartika tidak berdaya untuk kembali mengutuhkan keluarganya, karena alasan ekonomi terutama. Beliau tidak diajar untuk berdiri sendiri, fungsinya hanya sebagai hiasan kabupaten belaka.
Upaya merealisasikan keinginan untuk mendirikan sekolah bagi kemajuan perempuan ini, diwujudkan dengan keberaniannya untuk menghadap Bupati Bandung kala itu, R.A.A. Martanegara.
Pada mulanya, Bupati Martanegara tidak menyetujui niat Dewi Sartika untuk membuka sekolah bagi anak-anak perempuan, karena menurutnya hal itu akan mendapat tentangan yang keras dari masyarakat.
Akan tetapi penolakan ini tidak mengecilkan hati Dewi Sartika. Berulang kali permohonan ini diajukan. Pada akhirnya Bupati dapat menyetujui maksud memajukan pendidikan kaum perempuan.
"Maka pada tanggal 16 Januari 1904 didirikanlah Sakola lstri yang berarti Sekolah Gadis, Sekolah semacam ini jadi yang pertama kali di Hindia," imbuh Rochiati dalam bukunya.
Sekolah yang dibangun ini telah berhasil menarik perhatian publik hingga animo masyarakat dalam mendukung pendidikan untuk kaum perempuan semakin besar dari waktu ke waktu.
Hingga pada 1910, namanya berubah dari Sakola Istri menjadi Sekolah Kaoetamaan Istri. Banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah ini. Hal ini ditengarai berkat penekanan biaya sekolah serendah mungkin, sehingga dapat menjangkau elemen masyarakat untuk memajukan anak perempuan mereka.
Biaya sekolah yang dibutuhkan hanya berkisar f. 0,50. Dalam catatan Rochiati, biaya sekolah ini sangat amatlah murah jika dibandingkan dengan biaya sekolah gubermen dan anak-anak Eropa.
Ambil contoh sekolah Eropa paling populer di zamannya di mana setiap termijn—pembabakan jangka waktu studi, kini menggunakan sistem semester—ditarik uang sekolah minimum f.2,40 (gulden) ditambah dengan uang alat dan bahan sebanyak f.0,60 (gulden).
Setahun terdiri dari 10 termijn, sehingga dalam setahun, orang tua siswa harus merogoh saku lebih dalam dengan biaya sebesar f.30 (gulden). Demikian catatan Rochiati Wiraatmadha dalam bukunya Dewi Sartika (2009).
Namun, meski biaya sekolahnya murah, Sekolah Kaoetamaan Istri bukanlah sekolah murahan. Kurikulum yang disusun dituang sesuai dengan visi pemikiran Dewi Sartika yang cemerlang.
Di sekolah ini siswa perempuan diberi keterampilan, kecakapan, dan wawasan berbudi seperti menjahit, menambal, menyulam, merenda, memasak, menyajikan makanan, P.P.P.K., memelihara bayi, dan mendapat pelajaran Agama.
Pada gilirannya, wanita dengan keterampilannya mulai memasuki jenjang pendidikan yang lebih jauh lagi. Para tamatan Sekolah Kautamaan Istri kebanyakan melanjutkan pendidikannya ke sekolah rintisan van Deventer.
Seterusnya, para perempuan-perempuan terpelajar ininya mulai terlibat dalam organisasi modern di zaman kebangkitan nasionalisme. Peran serta mereka dalam organisasi modern memunculkan wajah perempuan modern yang kita kenal.
Mulai lahir organisasi-organisasi khusus perempuan yang menunjang kemajuan kaum perempuan, bahkan sekalipun dalam hal politik.
Wajar jika hari ini kita dapat melihat perempuan dapat memegang kendali dalam berbagai sektor yang dahulu hanya diduduki oleh sejumlah laki-laki.
Source | : | Dewi Sartika (2009),jurnal ENTITA |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR