Belum marak pendidikan perempuan untuk pribumi secara umum. Pada masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda di abad ke-19, pendidikan baru diberikan kepada anak-anak perempuan Eropa, itu pun hanya untuk kalangan atas.
Sebut saja lnstituut voor de Opvoeding van Jonge Juffrouwen dibuka pada tahun 1824. Sekolah ini merangkap asrama untuk anak-anak gadis (meisjes kostschool).
Sebagai syarat masuk antara lain ditentukan, bahwa calon siswanya harus dapat berbicara bahasa Belanda. Dari sini upaya Dewi Sartika mendirikan sekolah pribumi mulai muncul.
Rochiati Wiriaatmadja dalam buku gubahannya berjudul Dewi Sartika terbitan 2009, mengisahkan perjuangan Sartika—panggilannya—dengan perkerasan upayanya berusaha membangun sekolah khusus perempuan.
Hasratnya untuk membuka sekolah, bagi gadis-gadis remaja semakin besar. Hal ini didorong oleh kondisi keluarganya sendiri. Dewi Sartika menyaksikan penderitaan ibunya sendiri akibat ditinggalkan oleh ayahnya yang menjalani hukuman pengasingan di Ternate.
lbunda Dewi Sartika tidak berdaya untuk kembali mengutuhkan keluarganya, karena alasan ekonomi terutama. Beliau tidak diajar untuk berdiri sendiri, fungsinya hanya sebagai hiasan kabupaten belaka.
Upaya merealisasikan keinginan untuk mendirikan sekolah bagi kemajuan perempuan ini, diwujudkan dengan keberaniannya untuk menghadap Bupati Bandung kala itu, R.A.A. Martanegara.
Pada mulanya, Bupati Martanegara tidak menyetujui niat Dewi Sartika untuk membuka sekolah bagi anak-anak perempuan, karena menurutnya hal itu akan mendapat tentangan yang keras dari masyarakat.
Akan tetapi penolakan ini tidak mengecilkan hati Dewi Sartika. Berulang kali permohonan ini diajukan. Pada akhirnya Bupati dapat menyetujui maksud memajukan pendidikan kaum perempuan.
"Maka pada tanggal 16 Januari 1904 didirikanlah Sakola lstri yang berarti Sekolah Gadis, Sekolah semacam ini jadi yang pertama kali di Hindia," imbuh Rochiati dalam bukunya.
Sekolah yang dibangun ini telah berhasil menarik perhatian publik hingga animo masyarakat dalam mendukung pendidikan untuk kaum perempuan semakin besar dari waktu ke waktu.
Hingga pada 1910, namanya berubah dari Sakola Istri menjadi Sekolah Kaoetamaan Istri. Banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah ini. Hal ini ditengarai berkat penekanan biaya sekolah serendah mungkin, sehingga dapat menjangkau elemen masyarakat untuk memajukan anak perempuan mereka.
Source | : | Dewi Sartika (2009),jurnal ENTITA |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR