Jalur Sutra, sebagai jaringan perdagangan darat dan laut yang sangat luas membentang dari Tiongkok hingga Laut Mediterania, telah memainkan peran penting dalam menghubungkan berbagai peradaban selama lebih dari 1.700 tahun, yakni sejak abad kedua Sebelum Masehi hingga pertengahan abad ke-15.
Melalui jalur legendaris ini, terjadi pertukaran yang intens antara negara-negara Asia dan Eropa, meliputi aspek keagamaan, budaya, ekonomi, dan politik.
Dalam upaya mengungkap misteri asal-usul pecahan telur purba tersebut, para peneliti dari Max Planck Institute of Geoanthropology di Jerman telah berhasil mengidentifikasi spesies penghasil telur tersebut melalui metode analisis biomolekuler yang inovatif, yakni ZooMS.
Metode ini, yang bergantung pada sinyal protein alih-alih DNA, menawarkan keunggulan dalam hal kecepatan dan efisiensi biaya dalam mengidentifikasi spesies tertentu dari sisa-sisa hewan, termasuk tulang, kulit, dan tentu saja, cangkang telur.
"Penelitian ini menunjukkan potensi ZooMS untuk menjelaskan interaksi manusia-hewan di masa lalu," ungkap Carli Peters, salah satu peneliti utama dan seorang arkeolog, seperti dilansir di laman Popular Science.
Berkat ketelitian metode ZooMS, para peneliti berhasil mengonfirmasi bahwa pecahan cangkang telur yang ditemukan berasal dari ayam domestik. Temuan ini menjadi penemuan kunci dalam penelitian ini.
Jumlah cangkang telur ayam yang melimpah dan tersebar di berbagai lapisan sedimen di situs-situs arkeologi mengindikasikan bahwa ayam domestik pada masa itu bertelur jauh lebih sering dibandingkan dengan nenek moyang liarnya, ayam hutan merah.
Ayam hutan merah, burung tropis yang menawan dengan bulu berwarna-warni, masih dapat ditemukan di kawasan Asia Tenggara dan sebagian Asia Selatan. Namun, berbeda dengan ayam domestik, ayam hutan merah hanya bersarang sekali dalam setahun dan menghasilkan sekitar enam telur per kopling.
Kemampuan ayam domestik untuk bertelur hampir setiap hari, bahkan hingga satu butir per hari, merupakan adaptasi yang luar biasa dan tentu saja dimanfaatkan secara optimal oleh manusia purba.
Dengan menganalisis cangkang telur dari situs arkeologi di Asia Tengah, para peneliti menemukan bukti kuat bahwa ayam-ayam domestik zaman dahulu telah kehilangan pola bertelur musiman yang umum ditemukan pada burung liar.
Ketersediaan telur yang melimpah sepanjang tahun ini menjadi faktor kunci yang mendorong manusia untuk memelihara ayam secara intensif.
"Ini adalah bukti paling awal untuk hilangnya pola bertelur musiman yang pernah diidentifikasi dalam catatan arkeologi," ungkap Robert Spengler, seorang ahli paleoekologi dan paleoekonomi dari Max Planck Institute of Geoanthropology.
"Ini adalah bukti paling awal untuk hilangnya pola bertelur musiman yang pernah diidentifikasi dalam catatan arkeologi."
Para peneliti menggunakan ZooMS untuk mengidentifikasi spesies hewan dari sisa-sisa cangkang telur. Metode ini memungkinkan mereka untuk mempelajari pola bertelur ayam-ayam purba secara detail.
Dengan membandingkan data tersebut dengan data dari burung liar, para peneliti dapat menyimpulkan bahwa ayam domestik telah mengalami perubahan genetik yang memungkinkan mereka bertelur sepanjang tahun.
KOMENTAR