Nationalgeographic.co.id—Pertanyaan klasik "ayam atau telur, mana yang lebih dulu?" mungkin telah menemukan jawabannya, yaitu telur.
Namun, perjalanan evolusi dan penyebaran ayam domestik masih menyimpan banyak misteri. Salah satu pertanyaan yang belum terjawab adalah seberapa luas ayam telah dibudidayakan di masa lalu.
Sebuah studi terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Nature Communications pada tanggal 2 April telah memberikan pencerahan baru. Dengan memanfaatkan teknologi analisis terbaru, para peneliti telah mengkaji pecahan kulit telur yang ditemukan di Asia Tengah.
Hasilnya mengejutkan: praktik beternak ayam untuk menghasilkan telur kemungkinan besar telah menjadi hal yang umum di wilayah tersebut sejak sekitar tahun 400 Sebelum Masehi hingga 1000 Masehi.
Temuan ini menunjukkan bahwa ayam domestik telah memainkan peran yang jauh lebih signifikan dalam kehidupan manusia di masa lalu daripada yang sebelumnya diperkirakan.
Salah satu faktor kunci yang mendorong penyebaran ayam secara luas di seluruh Eurasia dan Afrika timur laut adalah kemampuan mereka untuk bertelur di luar musim kawin alami.
Kemampuan inilah yang membuat ayam menjadi sumber protein yang stabil dan berkelanjutan, sehingga sangat dihargai oleh masyarakat pada masa itu.
Studi mendalam yang melibatkan kolaborasi lintas disiplin antara arkeolog, sejarawan, dan ilmuwan biomolekuler, mengambil fokus pada peradaban kuno di Asia Tengah.
Tim peneliti internasional ini telah menganalisis secara cermat pecahan-pecahan kulit telur yang dikumpulkan dari 12 situs arkeologi berbeda di kawasan tersebut, mencakup rentang waktu sekitar 1.500 tahun.
Pecahan-pecahan kulit telur ini, yang diperkirakan tersebar di sepanjang koridor tengah Jalur Sutra, menjadi kunci untuk mengungkap dinamika kehidupan di masa lalu.
Baca Juga: Telur Berwarna Cokelat Lebih Bernutrisi Dibanding Telur Berwarna Putih?
Jalur Sutra, sebagai jaringan perdagangan darat dan laut yang sangat luas membentang dari Tiongkok hingga Laut Mediterania, telah memainkan peran penting dalam menghubungkan berbagai peradaban selama lebih dari 1.700 tahun, yakni sejak abad kedua Sebelum Masehi hingga pertengahan abad ke-15.
Melalui jalur legendaris ini, terjadi pertukaran yang intens antara negara-negara Asia dan Eropa, meliputi aspek keagamaan, budaya, ekonomi, dan politik.
Dalam upaya mengungkap misteri asal-usul pecahan telur purba tersebut, para peneliti dari Max Planck Institute of Geoanthropology di Jerman telah berhasil mengidentifikasi spesies penghasil telur tersebut melalui metode analisis biomolekuler yang inovatif, yakni ZooMS.
Metode ini, yang bergantung pada sinyal protein alih-alih DNA, menawarkan keunggulan dalam hal kecepatan dan efisiensi biaya dalam mengidentifikasi spesies tertentu dari sisa-sisa hewan, termasuk tulang, kulit, dan tentu saja, cangkang telur.
"Penelitian ini menunjukkan potensi ZooMS untuk menjelaskan interaksi manusia-hewan di masa lalu," ungkap Carli Peters, salah satu peneliti utama dan seorang arkeolog, seperti dilansir di laman Popular Science.
Berkat ketelitian metode ZooMS, para peneliti berhasil mengonfirmasi bahwa pecahan cangkang telur yang ditemukan berasal dari ayam domestik. Temuan ini menjadi penemuan kunci dalam penelitian ini.
Jumlah cangkang telur ayam yang melimpah dan tersebar di berbagai lapisan sedimen di situs-situs arkeologi mengindikasikan bahwa ayam domestik pada masa itu bertelur jauh lebih sering dibandingkan dengan nenek moyang liarnya, ayam hutan merah.
Ayam hutan merah, burung tropis yang menawan dengan bulu berwarna-warni, masih dapat ditemukan di kawasan Asia Tenggara dan sebagian Asia Selatan. Namun, berbeda dengan ayam domestik, ayam hutan merah hanya bersarang sekali dalam setahun dan menghasilkan sekitar enam telur per kopling.
Kemampuan ayam domestik untuk bertelur hampir setiap hari, bahkan hingga satu butir per hari, merupakan adaptasi yang luar biasa dan tentu saja dimanfaatkan secara optimal oleh manusia purba.
Dengan menganalisis cangkang telur dari situs arkeologi di Asia Tengah, para peneliti menemukan bukti kuat bahwa ayam-ayam domestik zaman dahulu telah kehilangan pola bertelur musiman yang umum ditemukan pada burung liar.
Ketersediaan telur yang melimpah sepanjang tahun ini menjadi faktor kunci yang mendorong manusia untuk memelihara ayam secara intensif.
"Ini adalah bukti paling awal untuk hilangnya pola bertelur musiman yang pernah diidentifikasi dalam catatan arkeologi," ungkap Robert Spengler, seorang ahli paleoekologi dan paleoekonomi dari Max Planck Institute of Geoanthropology.
"Ini adalah bukti paling awal untuk hilangnya pola bertelur musiman yang pernah diidentifikasi dalam catatan arkeologi."
Para peneliti menggunakan ZooMS untuk mengidentifikasi spesies hewan dari sisa-sisa cangkang telur. Metode ini memungkinkan mereka untuk mempelajari pola bertelur ayam-ayam purba secara detail.
Dengan membandingkan data tersebut dengan data dari burung liar, para peneliti dapat menyimpulkan bahwa ayam domestik telah mengalami perubahan genetik yang memungkinkan mereka bertelur sepanjang tahun.
KOMENTAR