Nationalgeographic.co.id—Selama sebagian besar sejarah evolusi manusia, aktivitas manusia telah dikaitkan dengan cahaya matahari. Teknologi telah membebaskan kita dari siklus tidur-bangun kuno ini. Namun ada bukti bahwa sinar matahari telah meninggalkan jejaknya dan hal ini masih berlangsung hingga kini.
Manusia cenderung terjaga di siang hari dan tidur di malam hari. Selain itu, cahaya atau sinar matahari juga berperan besar dalam banyak aspek lain dalam biologi manusia.
“Cahaya mungkin telah mendorong nenek moyang kita untuk berjalan tegak dengan dua kaki,” tulis Mike Lee di laman Livescience. Cahaya membantu menjelaskan evolusi warna kulit manusia, mengapa sebagian dari kita memiliki rambut keriting, dan bahkan ukuran mata kita.
Cahaya membantu membentuk suasana hati, sistem kekebalan tubuh, cara kerja usus, dan masih banyak lagi. Cahaya dapat membuat sakit, memberi tahu kita mengapa kita sakit, lalu mengobati kita.
Jutaan tahun sejarah evolusi berarti manusia masih merupakan makhluk cahaya.
Manusia berdiri, lalu berjalan keluar dari Afrika
Manusia modern pertama berevolusi di iklim Afrika yang hangat. Dan mengurangi paparan sinar matahari yang terik merupakan salah satu penjelasan mengapa manusia mulai berjalan tegak dengan dua kaki. Saat kita berdiri dan matahari berada tepat di atas kepala, sinar matahari yang mengenai tubuh kita jauh lebih sedikit.
Rambut keriting mungkin juga melindungi kita dari terik matahari. Idenya adalah rambut keriting menyediakan lapisan isolasi yang lebih tebal daripada rambut lurus untuk melindungi kulit kepala.
Homo sapiens awal memiliki perlindungan matahari ekstra dalam bentuk kulit yang berpigmen kuat. Sinar matahari memecah folat (vitamin B9), mempercepat penuaan dan merusak DNA. Di iklim cerah di masa lalu, kulit gelap terlindungi dari hal ini. Tetapi kulit gelap ini masih menerima cukup sinar UV untuk merangsang produksi penting vitamin D.
Ketika manusia mendiami daerah beriklim sedang, dengan cahaya yang lebih redup, mereka berulang kali mengembangkan kulit yang lebih terang. Hal ini terjadi dengan cepat, mungkin dalam 40.000 tahun terakhir.
Dengan berkurangnya radiasi UV di dekat kutub, lebih sedikit pigmentasi yang dibutuhkan untuk mencegah kerusakan folat akibat sinar matahari. Kulit yang lebih cerah juga memungkinkan lebih banyak cahaya yang masuk sehingga tubuh dapat memproduksi vitamin D. Namun, ada satu kelemahan besar: pigmentasi yang lebih sedikit berarti perlindungan yang lebih sedikit terhadap kerusakan akibat sinar matahari.
Baca Juga: Benarkah Darwin Keliru dalam Menjelaskan Evolusi Leher Panjang Jerapah?
Bagaimana pigmentasi kulit kita beradaptasi dengan pola migrasi dan perubahan cahaya?
“Latar belakang evolusi ini menyebabkan Australia memiliki salah satu tingkat kanker kulit tertinggi di dunia,” Lee menambahkan.
50% orang Australia adalah keturunan Anglo-Celtic, berkulit terang. Leluhur mereka pindah ke lingkungan dengan tingkat UV tinggi. Australia mendapat julukan sebagai negara yang terbakar matahari.
Cahaya matahari juga berkontribusi terhadap variasi mata manusia. Manusia dari garis lintang tinggi memiliki lebih sedikit pigmen pelindung pada iris mereka. Mereka juga memiliki rongga mata yang lebih besar (dan mungkin bola mata). Tujuannya agar dapat menerima lebih banyak cahaya yang berharga.
Sekali lagi, ciri-ciri ini membuat warga Australia keturunan Eropa sangat rentan terhadap cahaya terang di Australia. Jadi tidak mengherankan jika Australia memiliki tingkat kanker mata yang luar biasa tinggi.
Kita tidak bisa menggoyahkan jam tubuh
Ritme sirkadian— siklus bangun-tidur yang digerakkan oleh otak dan hormon— adalah bagian lain dari beban evolusi yang dipicu oleh cahaya.
Manusia beradaptasi dengan cahaya siang hari. Dalam cahaya terang, manusia dapat melihat dengan baik dan memiliki penglihatan warna yang halus. Namun, kita tidak dapat melihat dengan baik dalam cahaya redup. Dan kita tidak memiliki indra seperti pendengaran yang tajam atau penciuman yang tajam, untuk mengimbanginya.
Simpanse, gorila, dan orang utan juga aktif di siang hari dan tidur di malam hari. Hal ini memperkuat pandangan bahwa manusia paling awal memiliki perilaku diurnal yang serupa.
Gaya hidup ini kemungkinan besar sudah ada sejak lama dalam sejarah evolusi. Sebelum kera besar, hingga awal mula primata.
Mamalia paling awal umumnya aktif di malam hari, memanfaatkan ukurannya yang kecil dan kegelapan untuk bersembunyi dari dinosaurus. Namun, dampak meteorit yang memusnahkan reptil menakutkan ini memungkinkan sejumlah mamalia yang selamat, terutama primata, mengembangkan gaya hidup diurnal.
Jika kita mewarisi pola aktivitas siang hari langsung dari primata awal ini. Maka ritme ini akan menjadi bagian dari sejarah evolusi garis keturunan kita selama hampir 66 juta tahun.
Hal ini menjelaskan mengapa jam tubuh manusia sangat sulit digoyahkan. Jam tubuh ini sangat tertanam dalam sejarah evolusi kita.
Kemajuan teknologi pencahayaan yang sukses semakin membebaskan kita dari ketergantungan pada cahaya matahari. Ada api, lilin, lampu minyak dan gas, dan akhirnya lampu listrik. Jadi secara teori kita bisa bekerja dan bermain kapan saja.
Namun, kinerja kognitif dan fisik kita menurun ketika siklus harian intrinsik kita terganggu. Misalnya akibat kurang tidur, kerja shift, atau jet lag.
Para futuris telah mempertimbangkan ritme sirkadian yang diperlukan untuk kehidupan di Mars. Beruntungnya, satu hari di Mars sekitar 24,7 jam, sangat mirip dengan hari di Bumi. Perbedaan kecil ini seharusnya menjadi kekhawatiran terkecil bagi para penjajah Mars yang pemberani.
Sinar matahari masih terus mengubah manusia
Dalam sekitar 200 tahun terakhir, pencahayaan buatan membantu memisahkan kita dari ritme sirkadian leluhur kita. Namun dalam beberapa dekade terakhir, hal ini telah mengorbankan penglihatan kita.
Banyak gen yang berhubungan dengan miopia (rabun jauh) telah menjadi lebih umum hanya dalam 25 tahun. Hal ini adalah sebuah contoh mencolok dari perubahan evolusi cepat dalam kumpulan gen manusia. Dan jika Anda memiliki beberapa kecenderungan genetik terhadap miopia, berkurangnya paparan cahaya alami meningkatkan kemungkinan tersebut. Perubahan nyata ini telah terjadi dalam kehidupan banyak orang.
Cahaya tidak diragukan lagi akan terus membentuk biologi kita selama beberapa milenium mendatang. Namun efek jangka panjang tersebut mungkin sulit diprediksi.
Source | : | Livescience |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR