Nationalgeographic.co.id—Di tengah hiruk pikuk kota metropolitan yang dipenuhi gedung pencakar langit dan asap kendaraan, tersembunyi suatu revolusi hijau yang tak terduga. Bayangkan, di sela-sela gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan, tumbuh subur hutan kecil yang rimbun.
Hutan mikro, begitu sebutannya, bukan sekadar tanaman hias di pot, melainkan ekosistem mini yang mampu mengubah wajah perkotaan. Konsep yang mungkin terdengar mustahil ini, ternyata telah berhasil diterapkan di banyak kota besar dunia, terinspirasi dari teknik kuno Jepang.
Bagaimana hutan-hutan mungil ini dapat menjadi solusi atas masalah deforestasi yang semakin mengkhawatirkan? Mari kita telusuri lebih jauh.
Apa sebenarnya hutan mikro?
Laporan Status Hutan Dunia PBB pada tahun 2020 menyajikan gambaran yang mengkhawatirkan: lebih dari 420 juta hektar hutan telah hilang secara global sejak 1990 akibat alih fungsi lahan.
Di tengah krisis deforestasi yang semakin mendesak ini, konsep hutan mikro hadir sebagai sebuah solusi inovatif, terutama di kawasan perkotaan yang kini dihuni oleh lebih dari 85% populasi dunia.
Terinspirasi oleh teknik Hutan Miyawaki yang dikembangkan oleh Profesor Akira Miyawaki pada tahun 1970-an, hutan mikro menawarkan pendekatan unik dalam restorasi ekosistem.
Hutan-hutan kecil namun kaya keanekaragaman hayati ini dapat dibangun di lahan seluas hanya sembilan meter persegi, dengan menggunakan spesies asli yang secara alami tumbuh di wilayah tersebut.
Pertumbuhannya pun sangat pesat, mencapai hingga 10 kali lebih cepat dibandingkan hutan monokultur konvensional. Dalam kurun waktu dua hingga tiga dekade, sebuah hutan mikro dapat tumbuh subur dan menjadi habitat bagi beragam flora dan fauna.
Sejak gagasan Miyawaki diperkenalkan, ratusan hutan mikro telah berhasil ditanam di berbagai belahan dunia. LSM Earthwatch Eropa, misalnya, telah menanam 285 hutan kecil sejak tahun 2022.
Dengan total lebih dari 600 pohon, kawasan-kawasan hijau ini berhasil menarik lebih dari 500 spesies hewan dan tumbuhan hanya dalam tiga tahun pertama. Lokasi penanaman pun sangat beragam, mulai dari lapangan olahraga hingga taman-taman kota di kawasan Haringey, London Utara.
Baca Juga: Antara Kelapa Sawit dan Hutan: Intensifikasi dan Upaya Kembali ke Multikultur
Program serupa juga dijalankan oleh 'SUGi', sebuah inisiatif yang bertujuan memulihkan keanekaragaman hayati dan memperkenalkan kembali spesies asli. Sejak diluncurkan, SUGi telah berhasil menciptakan 230 'hutan saku' di 52 kota di seluruh dunia, mulai dari Toulouse, Prancis hingga Madrid, Spanyol.
Benarkah hutan mikro bermanfaat bagi lingkungan?
Dalam lanskap perkotaan yang semakin padat dan tercemar, hadirnya hutan mikro layaknya oase hijau yang menyegarkan. Konsep ini menawarkan solusi inovatif untuk mengatasi berbagai permasalahan lingkungan di perkotaan.
Hutan mikro, dengan ukurannya yang relatif kecil, mampu memberikan dampak yang signifikan bagi lingkungan. Penelitian oleh Woodland Trust menunjukkan bahwa hutan-hutan mini ini berperan penting dalam memulihkan kualitas tanah, air, dan udara yang terdegradasi akibat aktivitas manusia.
Proses penanamannya yang efisien memungkinkan hutan mikro tumbuh subur di berbagai lokasi perkotaan, mulai dari taman bermain sekolah hingga area di sekitar stasiun metro.
Salah satu keunggulan hutan mikro adalah kemampuannya dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Dengan menyerap karbon dioksida dalam jumlah besar, hutan mikro membantu menjaga suhu udara tetap stabil dan mengurangi risiko banjir akibat hujan lebat.
Selain itu, keberadaan hutan mikro juga menciptakan habitat yang ideal bagi berbagai jenis satwa liar, seperti burung dan mamalia kecil, sehingga meningkatkan keanekaragaman hayati di perkotaan.
Lebih dari sekadar ruang hijau, hutan mikro juga memberikan manfaat yang tak ternilai bagi kesehatan mental dan sosial masyarakat. Elise Van Middelem, Pendiri dan CEO SUGi, mengungkapkan bahwa hutan saku yang dikelolanya telah terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
"Dari perspektif psikologis, berinteraksi dengan alam mengurangi stres fisik dan dapat memperbaiki gejala kesehatan mental, termasuk kecemasan atau depresi," papar Van Middelem seperti dilansir laman Euro News.
Melibatkan generasi muda dalam penanaman hutan mikro juga menjadi investasi penting untuk masa depan lingkungan. SUGi telah berhasil melibatkan hampir 80.000 anak dalam penanaman 140 hutan saku di berbagai sekolah.
"Melibatkan generasi mendatang dengan alam sangat penting, karena agar kita ingin melindungi dan merawat alam, kita perlu merasakan keterhubungan dengannya," tutur Van Middelem.
Baca Juga: Industri Sawit Masih Picu Deforestasi, Lahan Gambut Tak Luput Jadi Sasaran
Dalam jangka waktu 3 hingga 5 tahun, hutan mikro dapat tumbuh menjadi ekosistem yang mandiri. Dengan struktur vegetasi yang terdiri dari berbagai lapisan, mulai dari pohon hingga tanaman herba, hutan mikro mampu menciptakan lingkungan yang kaya nutrisi dan mendukung kehidupan berbagai organisme.
Tantangan? Tentu saja akan selalu ada!
Inisiatif mentransformasi ruang-ruang kosong di perkotaan menjadi hutan mikro memang patut diapresiasi. Namun, di balik keindahan dan manfaat ekologisnya, terdapat sejumlah tantangan yang perlu diatasi.
Salah satu kendala utama yang diidentifikasi oleh Cities4Forests, sebuah aliansi global yang fokus pada pelestarian alam perkotaan, adalah kondisi lingkungan perkotaan yang ekstrem.
Tingginya tingkat polusi, suhu udara yang terus meningkat, dan keterbatasan pasokan air akibat kekeringan secara signifikan menghambat pertumbuhan akar tanaman secara mendalam.
Kondisi ini tidak hanya mengerdilkan ukuran tanaman, tetapi juga meningkatkan kerentanannya terhadap berbagai penyakit. Akibatnya, upaya penghijauan perkotaan menjadi lebih kompleks dan membutuhkan penanganan khusus.
Selain tantangan ekologis, aspek sosial juga menjadi perhatian utama. Van Middelem menyoroti pentingnya keterlibatan masyarakat dalam setiap tahap pengembangan hutan mikro.
Hutan saku tidak dapat ditanam tanpa persetujuan mereka," ujarnya. "Namun, tidak ada satu pun tantangan ini yang tidak dapat diatasi."
Ya, meskipun dihadapkan pada berbagai kendala, Van Middelem optimis bahwa semua tantangan ini dapat diatasi.
Apalagi, seperti diuraikan di atas, keberadaan hutan mikro di tengah kota tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan menyediakan ruang terbuka hijau dan memperbaiki kualitas udara yang pada akhirnya menciptakan suasana yang lebih menyenangkan.
Hutan Mikro Ala Jepang, Solusi Atasi Deforestasi yang Masih Saja Sulit Dibendung?
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR